Minggu, 26 Juni 2011

TEORI KONSELING BEHAVIOR

Konsep utama.
(D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosfor , Bandura, Wolpe dll)
Konsep behavioral : perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.

Thoresen (shertzer & Stone 1980, 188) memberikan ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut: :
1. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari oleh sebab itu dapat diubah.
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individu dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaku yang relevan. Prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan
3. Prinsip-prinsip belajar spesial seperti : “reinforcement” dan “social modeling” , dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar wawancara prosedur-prosedur konseling.
5. Prosedurprosedur konseling tidak statik, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didesain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.
Proses konseling.

Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190) konsseling behavior merupakan suatu proses membantu orang untuk memecahkan masalah.interpersonal, emosional dan keputusan tertentu.
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalan konseling yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey, 1986, 178) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dan klien sebagai berikut:

1. Konselor menjelaskan maksud dan tujuan
2. Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling.
3. Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan.
4. Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik.
5. Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan.
6. Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan.
7. Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut : untuk meneruskan konseling atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.
Teknik Teori:
Mengenai metode konseling, Krumboltz menkategorikan menjadi empat pendekatan yaitu:
1. pendekatan operant learning. Hal yang sangat penting adalah penguatan yang dapat menghasilkan prilaku klien yang dikehendaki.
2. Metode unitatif learning. Diterapkan oleh konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh klien.
3. metode cognitive learning atau pembelajaran kognetif. Merupakan metode pengajaran yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peran
4. metode emosional learning atau pembelajaran emosional diterapkan kepada individu yang mengalami suatu kecemasan.
Analisis
Teori ini lebih menitik beratkan pada seorang konselor yang harus dapat menjadi seorang model sehingga klient dapat mencontoh dan memperbaiki prilakunya yang menyimpang.
KONSELING DI PERGURUAN TINGGI
Konseling Psikologi Individual (Alfred Adler)
Hakekat Manusia
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Calvin S. Hall dan Gardner dalam A. Supratiknya (1993:241)
Manusia tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan:
a. Tanggung jawab sosial
b. Pemenuhan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
Perkembangan Kepribadian
•Struktur kepribadian
1)Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat sampai dengan lima tahun.
2)Pada awalnya manusia dilahirkan Feeling Of Inferiority (FOI) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kearah Feeling Of Superiority (FOS).
3)Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungan itu.
4)Dalam pada itu sosial interest-nya pun berkembang
5)Selanjutnya terbentuk Life Style (LS) yang unik untuk masing-masing individu (human individuality) yang bersifat :
(a)Self-deterministik.
(b)Teleologis.
(c)Holistik.
6)Sekali terbentuk Life Style (LS) sukar untuk berubah. Perubahan akan membawa kepedihan. Prayitno (1998:51).
•Kepribadian yang normal (sehat).
Freud memandang komponen kehidupan yang normal/sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”, namum bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Motivasi dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan dengan oleh gaya hidupnya.
Dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun kekhususan hubungan dengan orang dan pranata sosial ditentukan oleh pengalaman bergaul dengan masyarakat. Rincian pokok teori Adler mengenai kepribadian yang norma/sehat adalah sebagai berikut:
1)Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior.
2)Persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian
3)Semua fenomena psikologis disatukan didalam diri individu dalam bentuk self.
4)Manfaat dari aktivitas manusiaharus dilihat dari sudut pandang interes sosial
5)Semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self.
6)Gaya hidup dikembangkan melalui kreatif individu. Alwisol (2006:78)
•Kepribadian yang menyimpang (TLSS)
Sebab utama TLSS adalah perasaan FOI yang amat sangat yang ditimbulkan oleh:
1)Cacat mental atau fisik
2)Penganiayaan oleh orang tua
3)Penelantaran.
Apabila ketiga hal diatas dibesar-besarkan maka FOI akan semakin berkembang. TLSS adalah hasil dari pengaruh lingkungan, yang pada umumnya berawal dari tingkah laku orang tua sewaktu masih kanak-kanak. Apabila pada diri individu berkembang situasi tegang karena memuncaknya perasaan FOI, maka TLSS mulai berkembang:
2)Upaya mengejar superioritas yang berlebihan.
(a)terlalu keras, hingga menjadi kaku (rigid).
(b)Perfeksionistik tidak wajar.
3)Sosial interes terganggu.
(a)Hubungan sosial tidak mengenakkan.
(b)Mengisolasi diri (selfish). Prayitno (1998:52).
Tujuan Konseling
Tujuan konseling adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style (LS) serta mengurangi penilaian yang bersifat negatif terhadap dirinya serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dan dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Hal ini dilakukan bertujuan membentuk gaya hidupnya yang lebih efektif. Prayitno (1998:52).
Proses dan Teknik Konseling
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga, keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
Kharakteristik konselor
(a)Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi dengan baik
(b)3 M dan Objektif
Contohnya
Klien yang mengalami kekurangan/kelebihan salah satu organ tubuh. Misalnya; jari tangan kanan berjumlah tujuh. Hal ini mengakibatkan klien merasa rendah diri, dan merasa dirinya aneh jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungannya.

Konseling Psikologi Individual (Alfred Adler)


Hakekat Manusia
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Calvin S. Hall dan Gardner dalam A. Supratiknya (1993:241)
Manusia tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan:
a. Tanggung jawab sosial
b. Pemenuhan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
Perkembangan Kepribadian
•Struktur kepribadian
1)Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat sampai dengan lima tahun.
2)Pada awalnya manusia dilahirkan Feeling Of Inferiority (FOI) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kearah Feeling Of Superiority (FOS).
3)Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungan itu.
4)Dalam pada itu sosial interest-nya pun berkembang
5)Selanjutnya terbentuk Life Style (LS) yang unik untuk masing-masing individu (human individuality) yang bersifat :
(a)Self-deterministik.
(b)Teleologis.
(c)Holistik.
6)Sekali terbentuk Life Style (LS) sukar untuk berubah. Perubahan akan membawa kepedihan. Prayitno (1998:51).
•Kepribadian yang normal (sehat).
Freud memandang komponen kehidupan yang normal/sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”, namum bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Motivasi dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan dengan oleh gaya hidupnya.
Dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun kekhususan hubungan dengan orang dan pranata sosial ditentukan oleh pengalaman bergaul dengan masyarakat. Rincian pokok teori Adler mengenai kepribadian yang norma/sehat adalah sebagai berikut:
1)Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior.
2)Persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian
3)Semua fenomena psikologis disatukan didalam diri individu dalam bentuk self.
4)Manfaat dari aktivitas manusiaharus dilihat dari sudut pandang interes sosial
5)Semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self.
6)Gaya hidup dikembangkan melalui kreatif individu. Alwisol (2006:78)
•Kepribadian yang menyimpang (TLSS)
Sebab utama TLSS adalah perasaan FOI yang amat sangat yang ditimbulkan oleh:
1)Cacat mental atau fisik
2)Penganiayaan oleh orang tua
3)Penelantaran.
Apabila ketiga hal diatas dibesar-besarkan maka FOI akan semakin berkembang. TLSS adalah hasil dari pengaruh lingkungan, yang pada umumnya berawal dari tingkah laku orang tua sewaktu masih kanak-kanak. Apabila pada diri individu berkembang situasi tegang karena memuncaknya perasaan FOI, maka TLSS mulai berkembang:
2)Upaya mengejar superioritas yang berlebihan.
(a)terlalu keras, hingga menjadi kaku (rigid).
(b)Perfeksionistik tidak wajar.
3)Sosial interes terganggu.
(a)Hubungan sosial tidak mengenakkan.
(b)Mengisolasi diri (selfish). Prayitno (1998:52).
Tujuan Konseling
Tujuan konseling adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style (LS) serta mengurangi penilaian yang bersifat negatif terhadap dirinya serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dan dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Hal ini dilakukan bertujuan membentuk gaya hidupnya yang lebih efektif. Prayitno (1998:52).
Proses dan Teknik Konseling
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga, keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
Kharakteristik konselor
(a)Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi dengan baik
(b)3 M dan Objektif
Contohnya
Klien yang mengalami kekurangan/kelebihan salah satu organ tubuh. Misalnya; jari tangan kanan berjumlah tujuh. Hal ini mengakibatkan klien merasa rendah diri, dan merasa dirinya aneh jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungannya.

Konseling Self (Carl Rogers)
Konseling self

Carl Rogers adalah pencetusnya. Riwayat hidup: masa kecil diasuh dengan hangat namun kurang kesempatan dalam bermain. Masa kanak-kanak kesepian.
1.Hakekat Manusia
Menerima kliien tanpa syarat (apa adanya).

Rogers menekankan pandangan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipahami dari bagaimana dia mamandang realita secara subjektif. Pendekatan ini disebut humanistik, karena sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Setiap orang memiliki potensi untuk berkembang mencapai aktualisasi diri. Rogers juga mengemukakan 19 rumusan pandangan mengenai hakekat pribadi (self). Alwisol (2006: 317)

2.Perkembangan Kepribadian
a.Struktur kepribadian.
Struktur kepribadian dalam teori Rogers meliputi:
1) Organisme adalah tempat semua pengalaman, segala sesuatu, yang secara potensial terdapat dalam kesadaran setiap saat, yakni persepsi seseorang mengenai event yang terjadi di dalam diri dan dunia eksternal. Organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau dialaminya (realitas) dan satu kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yakni bertujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
2) Lapangan Fenomena meliputi pengalaman internal (persepsi mengenai diri sendiri) dan pengalaman eksternal (persepsi mengenai dunia luar). Lapangan fenomena juga meliputi pengalaman yang disimbolkan (diamati dan disusun dalam kaitannya dengan diri sendiri), disimbolkan tetapi diingkari/dikaburkan (karena tidak konsisten dengan struktur dirinya), dan tidak disimbolkan atau diabaikan (karena diamati tidak mempunyai hubungan dengan struktur diri). Pengalaman yang disimbolkan disadari, sedangkan pengalaman yang diingkari dan diabaikan tidak disadari. Semua persepsi bersifat subjektif, dengan kata lain benar menurutnya sendiri. Medan fenomena seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empirik, itupun pengetahuan yang diperoleh tidak bakal sempurna.
3) Self merupakan satu-satunya struktur kepribadian yang sebenarnya. Dengan kata lain self terbentuk melalui deferiensiasi medan fenomena dan melalui introjeksi nilai-nilai orang tertentu serta dari distorsi pengalaman. Self bersifat integral dan konsisten. Pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self dianggap ancaman dan self dapat berubah sebagai akibat kematangan biologik dan belajar. Konsep self menggambarkan konsepsi mengenai dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Misalnya, orang mungkin memandang dirinya sebagai; “saya cerdas, menyenangkan, jujur, baik hari, dan menarik”. Alwisol (2006: 322)
b.Keperibadian yang normal (sehat)
Terdapat keseimbangan antara organisme, lapangan fenomena dan self sebagai hasil dari interaksi individu untuk selalu berkembang.
c.Keperibadian yang menyimpang (TLSS).
1) Adanya ketidakseimbangan/ketidaksesuaian antara pengalaman organismik dan self yang menyebabkan individu merasa rapuh dan mengalami salah suai.
2) Kharakteristik pribadi salah suai:
Estrangement: membenarkan apa yang ses ungguhnya oleh diri sendiri tidak mengenakkan.
Incongruity in behavior: ketidaksesuaian tingkah laku karena COW; hal ini sering menimbulkan kecemasan
Kecemasan: kondisi yang ditimbulkan oleh adanya ancaman terhadap kesadaran tentang diri sendiri.
Defense mechanism (DM), tindakan yang diambil oleh individu agar tampak konsisten terhadap struktur self (yang salah itu)
3) Gejala TLSS:
(a)Kecemasan atau ketengan terus menerus
(b)Tingkah laku yang rigid (tidak luwes)
(c)Menolak situasi baru
(d)Salah dalam memperhatikan.
3. Tujuan Konseling
Pada dasarnya klien sendiri menentukan tujuan konseling, konselor hanya membantu klien menjadi lebih matang dan kembali melakukan aktualisasi diri dengan menghilangkan hambatan-hambatannya. Namun secara lebih khusus membebaskan klien dari kungkungan tingkah laku (yang dipelajarinya) selama ini, yang semuanya itu membuat dirinya palsu dan terganggu dalam aktualisasi dirinya.
4.Proses dan Teknik Konseling
1)Klien merasa nyaman berada bersama konselor, karena konselor tidak pernah merespon negatif.
2)Klien didorong untuk sebanyak mungkin menggunakan kata ganti “saya”.
3)Klien didorang untuk melihat pengalaman-pengalamannya dari sudut yang lebih realistik.
4)Klien mengekspresikan perasaan yang benar-benar ia rasakan.
5)Klien didorong untuk kembali menjadi dirinya. Prayitno (1998:64)
5.Kharakteristik konselor
(a)Kongruen
(b)Menerima positif tanpa syarat (unconditioning positif regard), dan
(c)Empatik. Alwisol (2006:333)
6.Contohnya:
Klien yang mengalami kesulitan dalam berteman/terlalu kaku (rigid) terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini akan menghambat aktualisasi diri klien untuk diterima di masyarakat.

Konseling Analisis Transaksional
B.STRUKTUR KEPRIBADIAN
Setiap orang memiliki:
a. Ego child: reaksi emosional yang spontan, humor.
b. Ego parent : membimbing, mengarahkan, membantu dan merawat.
c. Ego adult: rasional, objektif dan bertanggungjawab
Ini terbentuk pada 5 tahun pertama
Unsure:
1. Ego diistilahkan dengan egostate (pernyataan ego). Perasaan dan kondisi psikis dan pola-pola tingkahlaku.
2. Setiap manusia ingin mendapatkan sentuhan yang bersifat fisik dan psikis.
C. PEMAKAIAN EGOSTATE
1. NORMAL: BERFIKIR DAN MERASA SESUAI DENGAN KONDISI
2. TERSELUBUNG: TIDAK DAPAT MENGUNGKAPKAN EMOSI
3. Kaku: hanya menampilkan satu egostate dalam setiap keadaan.
D. MOTIVASI HIDUP
1. Memenuhi kebutuhan fisik.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
Ingin mengatur waktu, ingin mengisi waktu.
3. Ingin memiliki posisi hidup. (SOKO, SOKTO, STOKTO, STOKO).





1. Pemakaian egostate tunggal
G. Tujuan konseling
1. Mencapai egostate adult
H. Konseling
1. Permission: memunculkan apa yang selama ini dilarang orangtua kepada anak
2. Proteksi: Asas kerahasiaan
3. Interogasi: bertanya secara terbuka, tegas dan merangsang
4.
5. Analisis struktur
6. Menganalisis transaksi
7. Analisis permainan
8. Analisis naskah hidup
I. Karakteristik konselor
1. Hangat
2. Terbuka
TEORI KONSELING UNTUK ANAK YANG MENCONTEK

PENGGUNAAN TERAPI REALITAS DALAM KONSELING
(D.E. NAAT)

Pengantar
Dewasa ini kita diperhadapkan dengan berbagai krisis kehidupan. Beban yang harus dipikul oleh sementara orang terasa begitu berat sebagai akibat dari persoalan yang datang silih berganti seakan-akan tiada akhirnya. Peristiwa-peristiwa seperti: bencana alam, krisis ekonomi berkepanjangan, ketiadaan lapangan pekerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK), persoalan rumah tangga serta seabrek persoalan kehidupan lainnya merupakan realitas yang tidak bisa disangkal. Situasi demikian diperburuk oleh melambungnya harga barang dan jasa, sementara rendahnya daya beli maupun merosotnya nilai mata uang kita semakin menambah berat beban hidup masyarakat kelas bawah. Belum lagi masalah pemukiman dan kebutuhan primer masyarakat miskin di kota-kota besar yang acapkali datang bersamaan. Bayangkan saja, jika sebuah keluarga miskin yang bermukim di kota besar suatu ketika harus menghadapi kenyataan masa kontrak rumahnya berakhir atau digusur; pada saat bersamaan ia sedang menganggur, anggota keluarganya ada yang sakit sedangkan kebutuhan makan-minum pun tidak ada lagi.
Realitas kehidupan seperti ini menyebabkan banyak orang yang mengalaminya mengambil jalan pintas, menghalalkan segala cara, masa bodoh dan apatis, pesimis menghadapi hari esok. Bermacam-macam perilaku yang tidak bertanggungjawab disertai tindak kriminalitas merupakan hal yang mudah terjadi dalam masyarakat. Tak jarang pula ada yang harus mengalami gangguan emosional seperti, putus asa, stress. depresi, bunuh diri untuk mengakhiri kekalutan hidupnya.
Beberapa kasus dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa ketidaksiapan menerima realitas menimbulkan persoalan spiritual dan psiko- emosional. Dua belas pengintai yang diutus Musa untuk mengamat-amati keadaan tanah Kanaan, menemukan realitas yang faktual mengenai penduduk negeri, kota-kotanya serta hasil buminya. Sepuluh orang pengintai itu, selain Kaleb dan Yosua, kemudian menimbulkan kepanikan dan ketakutan luar biasa di antara umat. Bangsa Israel kemudian bersungut-sungut melawan Musa dan Allah (Bil. 13-14:38). Realitas telah mempengaruhi perilaku mereka. Dengan begitu kecemasan, ketakutan, sungut-sungut dan pemberontakan lantas mewarnai keadaan umat Israel secara keseluruhan.
Kisah lain dapat kita simak dari Perjanjian Baru, yakni penyangkalan Simon Petrus. Ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa seorang hamba perempuan yang menyebut dia sebagai salah seorang dari murid-murid Yesus, ia pun menyangkal (Luk.22: 54-62). Petrus tidak sanggup mempertahankan tekadnya untuk membela sang Rabbi (Mat. 26:31-35), karena realitas memang amat berbeda dengan sekedar tekad yang membara. Perilaku Petrus pun berubah seiring dengan peristiwa itu. Ia yang dahulunya bereaksi spontan dan terkesan pemberani, kini tak ubahnya dengan seorang pria melankolik yang harus menangisi kegagalannya.
Alkitab sepanjang masa telah melukiskan beragam krisis kehidupan yang dialami oleh umat Israel. Kendati demikian kepada mereka senantiasa ditawarkan jalan keluar melalui nabi-nabi yang diutus untuk memberikan teguran, nasihat dan pertolongan. Salah satu diantaranya dengan cara mengingatkan mereka untuk berani menghadapi kenyataan sebagai sebuah konsekuensi perbuatan di masa lalu maupun sebagai sebuah tawaran agar mereka menemukan jalan keluar yang harus ditempuh.
Penggunaan Terapi Realitas (Reality Therapy) Dalam Konseling
Jika konseling dipandang sebagai sebuah proses pertolongan kepada konseli agar mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya, maka kita dapat menggunakan sumber-sumber maupun instrumen konseling yang memadai untuk tujuan dimaksud. Dari antara sejumlah metode terapi dan konseling yang telah dirumuskan oleh para ahli, salah satu di antaranya yang dapat digunakan dalam konteks ini adalah terapi realitas (reality therapy) Terapi realitas dapat digunakan sebagai alternatif pelayanan kepada anggota jemaat yang bermasalah. Tentu dengan menyeleksi unsur-unsur positif yang terkandung di dalamnya dan menyingkirkan pokok pemikiran yang tidak sesuai dengan iman Kristen.
Sehubungan dengan hal itu, Gerald Corey dalam bukunya, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, mengatakan bahwa terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga dan perkembangan masyarakat. Terapi realitas meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar dan menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
Sedangkan menurut Paul D. Meier, dkk., terapi realitas yang diperkenalkan oleh William Glasser memusatkan perhatiannya terhadap kelakuan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan tiga hal (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang baik (do right), dan tanggungjawab (responsible).
Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.
Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Realitas
Pendapat tradisional yang beranggapan bahwa seseorang berperilaku tidak bertanggungjawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berperilaku tidak bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli. Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process). Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan maksud agar konseli dapat meneyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
Faktor alam bawah sadar sebagaimana ditekankan pada psiko-analisis Freud tidak diperhatikan karena Glasser lebih mementingkan “apa” daripada “mengapa”-nya.
Terapi realitas menolong individu untuk memahami, mendefinisikan, dan mengklarifikasi tujuan hidupnya.
Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau kepepet, dsb.
Terapi realitas transferensi yang dianut konsep tradisional sebab transferensi dipandang suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi.. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
Penggunaan Terapi Realitas dalam Pelayanan Konseling Kristen
Paul Meier, dkk., mengatakan bahwa terapi realitas tampaknya memiliki pengaruh yang besar terhadap konseling Kristen karena menekankan tanggung jawab individu dan berusaha membedakan apa yang benar dan salah. Para psikoterapis umumnya hanya menyerukan dengan lantang kepada konseli untuk menghadapi kenyataan, melakukan yang terbaik dan bertanggungjawab, namun mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar klien. Karena itu seorang konselor Kristen, juga berusaha memenuhi kebutuhan dasar konseli: kasih dan rasa berharga (love and self-worth).
Apabila kebutuhan-kebutuhan konseli sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam terapi realitas maka hal itu sedikit banyak dapat tercapai bila dilakukan oleh para pelayan Tuhan dan konselor Kristen. Oleh karena hanya melalui relasi yang intim dengan Yesus Kristus, seorang konselor dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kasih tanpa syarat kepada konseli bukan kasih yang bersifat temporer dan situasional; bukan hanya kasih karena keprihatinan kita kepada klien sebagai sesama kita (filia) melainkan harus dilandasi kasih yang rela menerima apa adanya tanpa tendensi balas budi atau pamrih. Itu sebabnya kasih agape yang bersumber dari Allah itulah yang memungkinkan seorang konselor Kristen secara efektif dapat memainkan peranannya dengan melihat seginifikansi terapi realitas dalam konseling Kristen..
Sebagaimana ditekankan oleh Gary Collins bahwa umat Kristen merupakan sebuah kelompok terapis, tidak hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan antara sesama konseli atau antara konseli dengan konselor yang terlatih, tetapi mencakup para keluarga, kelompok studi, sahabat yang dapat dipercaya, rekan profesional, kelompok karyawan mapun sejmlah orang yang seringkali menyediakan bantuan yang diperlukan baik pada masa-masa krisis, maupun pada saat individu menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Orang-orang percaya dalam gereja lokal dapat memberikan dukungan (support) kepada anggota-anggotanya, menyembuhkan mereka yang sedang menghadapi masalah, serta membimbing orang ke arah pengambilan keputusan untuk melangkah maju ke arah kedewasaan iman.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam pelayan konseling Kristen, antara lain:
Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling Kristen. Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna, pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak signifikan (Ams. 23:7). Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh Allah dalam Kristus Yesus. Perubahan perilaku ditekankan oleh Rasul Paulus agar orang percaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi, sehingga dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (Roma 12: 2).
Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah. Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu dalam pelayanan konseling Kristen bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk bertanggungjawab dengan memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon pengampunan dari Kristus dan tidak menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku keberdosaannya (1 Yoh.1:7-9; Kis.5:1-11).
Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi realitas menolak mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi kenyataan sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman buruk di masa lampau (Fil.3:13-14). Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini, acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
Terapi realitas menolak alasan pembenaran terhadap perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling Kristen. Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus ditolak. Contoh, seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumahtangga sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
Pemikiran terapi realitas yang memfokuskan upaya pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya kerap tidak mau menerima dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain (donatur, diakoni gereja, dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang lain.
Melalui terapi realitas konseli dibantu untuk merubah cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
Oleh karena terapi realitas juga menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling nouthetis sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa. Konfrontasi diharapkan dapat mengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.
Terapi realitas yang menekankan kelakuan konseli yang bertanggungjawab terhadap realitas, perbuatan baik dan tanggungjawab; pada dasarnya erat kaitannya dengan pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia yang dibuat oleh Abraham Maslow, sebagaimana dikutip oleh Larry Crabb, yaitu:
kebutuhan fisik (physical): adalah unsur-unsur penting untuk memelihara kehidupan fisik manusia (makan-minum,tempat tinggal, dsb).
Rasa aman (security/physical security): kayakinan bahwa kebutuhan fisik kita akan tersedia pada hari esok.
Kasih (love): yang disebut rasa aman oleh Crabb.
Tujuan: signifikansi (Crabb)
Aktualisasi diri: ekspresi kualitas terbaik manusia: mengembangkan diri secara penuh, kreatif, ekspresi diri pribadi.
Menurut Crabb, semua kebutuhan tersebut di atas telah disediakan oleh Allah Bapa. Orang Kristen menempuh perjalanan untuk memperolah kebutuhan 1-4 dengan roda iman: kebutuhan fisik (Mat. 6:33); rasa aman (Mat.6:34; Fil.4:6;19); kebutuhan akan kasih (Roma 8:35,39); tujuan/signifikansi ( Fil. 1:21; Ef.2:10; Mzm. 103:4).
Dalam mengadopsi terapi realitas para konselor Kristen hendaknya tetap berpatokan pada Alkitab sebagai dasar proses konseling. Terapi realitas menjadi instrumen pendukung di mana konseli ditolong untuk meninggalkan pengalaman masa lalu yang merupakan penghalang baginya agar mampu bangkit untuk menyongsong masa depan yang disediakan Tuhan. Sebagaimana pengalaman Yeremia yang terus menerus meratap dan berdukacita atas hukuman yang datang silih berganti atas umat Tuhan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23). Ketika Yeremia mencoba berdiri di masa lalu maka yang ia hadapi adalah kesengsaraan dan tekanan dalam diri/tekanan batin (Rat.3:19-20). Namun pada saat ia menyadari hal itu dan mulai beralih pada sikap penuh harap dan optimis (Rat.3:21) , maka ia akhirnya melihat realitas penyertaan dan pemeliharaan Tuhan.
Dengan menggunakan terapi realitas seorang konselor Kristen menolong konseli untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dihadapi dan secara bertanggungjawab melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya berdasarkan realita yang dihadapinya. Dengan begitu maka diharapkan akan terjadi pemulihan dalam diri konseli untuk kembali menemukan signifikansi dan aktualisasi diri sebagai umat Tuhan yang berharga di mata-Nya (Yes. 43:4).
Upaya pertolongan demikian dapat diberikan kepada anggota jemaat yang sedang menghadapi kesulitan. Sebagai contoh, pertolongan yang hendak dilakukan oleh seorang konselor Kristen terhadap seorang suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan. Kepada klien tersebut dibimbing untuk menerima kenyataan bahwa ia sedang tidak bekerja (jobless) sehingga dengan sendirinya ia tidak memiliki penghasilan pula. Di sisi lain ia harus diingatkan untuk bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mencari pekerjaan atau melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal untuk menghidupi keluarganya. Sementara proses pertolongan demikian dilakukan, seorang konselor Kristen pada waktu bersamaan membangun kembali identitas diri sang suami agar ia tidak merasa minder, tidak mandek (burn-out) apalagi merasa tidak berguna lagi sebagai seorang suami yang gagal menghidupi keluarganya. Gereja merupakan tempat di mana kebutuhan sosial orang tersebut dipenuhi. Seorang konselor Kristen menjadi mediator baginya untuk menghubungkan dengan anggota jemaat yang memiliki peluang untuk merekrut atau mempekerjakan orang tersebut. Atau paling tidak ia dapat menghubungkan dengan pihak-pihak lain yang kemungkinan bisa menolongnya keluar dari krisis kehidupan yang dialaminya.
Dalam pelayanan contoh kasus yang dapat ditangani melalui terapi realitas beraneka ragam. Misalnya: seorang mahasiswa teologi yang suka menyontek, harus bertanggungjawab atas perilakunya dengan menerima sanksi akademis tertentu dan berjanji untuk tidak mengulanginya di masa mendatang. Ia harus menyadari pula bahwa hal menyontek adalah salah (dosa). Seorang pendeta yang temperamental harus menerima kenyataan bahwa jemaatnya pindah ke gereja lain, atau menerima kenyataan bahwa ia tidak dikasihi oleh jemaatnya. Ia harus merubah perilaku tersebut dengan mencontoh Tuhan Yesus sebagai figur Gembala Yang Baik.
Pada kasus lain di mana seorang mantan direktur yang jatuh bangkrut, diliputi oleh rasa putus asa sehingga tidak lagi mau melakukan apapun demi kehidupannya dan keluarganya. Permasalahannya adalah bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sekarang miskin, bukan lagi direktur yang memiliki segala-galanya. Gaya hidupnya masih ingin dipertahankan sebagai orang kaya: hidup mewah, makan enak, foya-foya, dsb. Padahal ia tidak lagi memiliki penghasilan untuk yang memadai untuk mendukung gaya hidup seperti itu. Tragisnya, mantan direktur ini tidak mau menerima tawaran pekerjaan dari konselor yang ingin membantunya keluar dari krisis yang dihadapinya, bila gaji yang akan diterimanya tidak setara dengan apa yang pernah diterimanya sebagai seorang direktur. Dalam kasus ini agaknya terapi realitas sangat relevan untuk menolong klien tersebut agar dapat menerima realita yang kini berada di pelupuk matanya.
Kasus-kasus konseling sebagaimana dikemukakan di atas mewakili sekian banyak permasalahan konseling yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akhir-akhir ini. Dalam kaitan tersebut Singgih D. Gunarsa menandaskan bahwa terapi realitas bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada klien untuk bisa mengambangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilkinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Perilaku yang dimaksud adalah kebutuhan dasar manusia, yakni :kasih sayang dan merasa diri berguna (love & self-worth). Terapi dengan menggunakan pendekatan terapi realitas secara aktif membantu klien memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam realitas terapi adalah membangun relasi yang hangat, pribadi dan bersahabat antara konselor dengan konseli yang diwarnai pula oleh sikap saling memahami dan menerima. Keuntungan dari terapi realitas tampaknya terletak pada jangka waktu terapi yang relatif singkat dan berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Konseli diperhadapkan pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat pertimbangan nilai.
Di samping itu terapi realitas menekankan agar orang bertanggungjawab atas perilakunya, melihatnya secara kritis, bertanggungjawab atas perbuatannya, serta berjanji untuk mengubahnya. Konseli harus berani menghadapi situasi saat ini daripada berupaya menghindarinya dengan cara yang destruktif.
Pada masa kini gereja dan para pelayan Tuhan diperhadapkan dengan kompleksitas persoalan jemaat yang tidak jauh berbeda dengan lukisan yang dihadapi bangsa Israel. Jemaat sebagai anggota masyarakat yang juga tidak luput dari imbas krisis multi dimensi pada dasarnya membutuhkan pertolongan agar mereka mampu menghadapi kenyataan serta menemukan jalan keluar dari problema kehidupan yang melilitnya. Dalam situasi seperti ini sebagai seorang pelayan Tuhan, para konselor dan terapis harus berusaha memberikan pertolongan kepada mereka untuk berani menghadapi realitas kehidupan ini serta dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dialaminya. Perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak Allah perlu pula diubah yang memungkin konseli mengetahui kehendak Allah bagi dirinya. Lebih daripada semuanya itu terapi realitas merupakan sinergi antara konselor dan konseli sesuai dengan tujuan konseling Kristen yakni agar konseli menemukan kembali pemulihan jatidirinya (1 Tes. 5: 14, 23).
KELEMAHAN TEORI HUMANISTIK
a. Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya। Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

b. Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul। Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
c. Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki। Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
d. Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri। Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri। Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut Abraham Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.

Kelemahan konseling realita
KONSELING REALITA
KKonseling realita pada hakekatnya menentang pendekatan konseling lain yang
memperlakukan klien sebagai individu yang sakit. Konseling ini sangat populer di
kalangan petugas bimbingan sekolah dan tempat-tempat rehabilitasi, karena pada
konseling ini setiap orang, termasuk siswa selalu dihadapkan pada sebuah kenyataan
(realita) hidup, sehingga pendekatan ini tepat untuk dipelajari dan dikuasai untuk
diterapkan oleh konselor. Konselor mengajarkan tingkah laku yang bertanggung
jawab.
Konseling realita dicetuskan oleh William Glasser yang lahir pada tahun 1925 dan
menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di Cliveland, Obio. Pertumbuhannya
relative tanpa hambatan, sehingga ia memahami dirinya sebagai lelaki yang baik.
Glasser meninggalkan kota kelahirannya setelah ia masuk Perguruan Tinggi. Ia
memperoleh gelar dari Case Western Reserve University. Ia menikah setelah tamat
sarjana muda dan setelah sekolah dokter ia memindah keluarganya ke West Coast
karena memperoleh perumahan di UCLA. Ia membuat rumah pribadi di California
Selatan.Glasser kemudian pindah ke perumahan Rumah Sakit Administrasi Veteran
(VA.Hospital) di Los Angeles Barat. Di rumah sakit ini diketemukan contoh klasik
kerja psikiatri konvensional. Ia ditugasi di Sal 206 yang merawat pasien psikotik
kronis.Glasser menamakan program terapi sebagai tiga penyembuhan mental
tradisional yang di dalamnya pasien diterima sebagai orang yang sakit mental dan
diberi penyembuhan yang telah baku. Dengan hanya sembuh dua pasien setahun
menunjukkan ketidak efektifan penyembuhan yang telah baku itu. Tidak puas dengan
kenyataan ini, Glesser mulai memperhatikan kemungkinan penyembuhan alternatif dan
mencoba prosedur baru. Ia mendapat dorongan dari supervisornya di rumah sakit,
namun sejawatnya di UCLA tidak puas dan tidak mendukung meterial yang dibutuhkan.
Pada tahun 1961 Glasser mempublikasikan konsep reality therapy (baca Konseling
Realita) dalam bukunya pertama yang berjudul Mental Health or Mental Illnes
kepada sekolah-sekolah, sehingga guru-gurunyapun mendapatkan pelatihan tentang
pendekatan konseling realita.
A.Pandangan tentang Manusia

Walaupun Glasser tidak memaparkan idenya menjadi pokok pikiran, namun ide-idenya
dapat disaripatikan menjadi sejumlah pokok pikiran sebagai berikut :
1.Konselor umumnya memandang individu atas dasar tingkah lakunya. Hal ini
tidak berarti memandang tingkahlaku atas dasar model stimulus-respon sebagaimana
yang dilakukan pendekatan behavioral, atau melihat tingkahlaku secara
fenomenologis sebagaimana penganut konseling pusat pribadi (person centered).
Pendekatan realita memandang tingkah laku berdasar pengukuran obyektif, yang
disebut realita. Ia berupa realitas praktis dan realitas moral.
2.Manusia memiliki kebutuhan psikologis tunggal yang disebut kebutuhan akan
identitas yang sudah barang tentu identitas yang sukses, yaitu identitas bahwa
manusia perlu dicintai dan mencintai.
3.Pandangan terhadap hakikat manusia mencakup pernyataan bahwa manusia
memiliki tiga kekuatan untuk tumbuh yang mendorong menuju ke identitas sukses.
Sudut pandang ini menyiratkan bahwa oleh karena individu dapat mengubah bagaimana
mereka hidup, merasakan dan bertingkah laku, maka mereka dapat pula merubah nasib
mereka. Pengubahan identitas merupakan bagian dari pengubahan tingkah laku.
4.Sejalan dengan pokok pikiran butir ke 3, kekuatan tumbuh bukanlah dari
pembawaan, melainkan diperoleh dari hasil tingkah laku yang harus dipelajari.
Proses belajar dimulai sejak dini, dalam hal ini peranan keterlibatan rang tua
menjadi sangat diharapkan. Orang tua yang bertanggungjawab membuat keterlibatan
dengan anak-anak mereka melalui cinta, mengajarkan disiplin dan memberikan contohahan konseling realita yang baik.
5. Konseling realita tidak terikat pada filsafat deterministik dalam memandang
manusia, tetapi membuat asumsi-asumsi bahwa pada akhirnya manusia mengarahkan diri
sendiri. Prinsip ini berarti mengakui tanggung jawab setiap orang untuk menerima
akibat dari tingkah lakunya.
B.Perkembangan Tingkah Laku
Konseling realita mengidealkan tingkah laku sebagai individu yang tercukupi
kebutuhannya akan cinta dan harga diri. Setiap orang belajar untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, yang pda gilirannya akan mengembangkan tingkah laku yang
normal, yakni yang bertanggungjawab dan berorientasi pada realita serta
mengidentifikasi diri sebagai individu yang berhasil atau sukses.
Glasser berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (cinta dan harga diri)
merupakan peristiwa belajar. Sehingga orang tua yang bertanggung jawab akan
membuat keterlibatan dengan anaknya melalui cinta, mengajar, disiplin dan
memberikan contoh. Perwujudan lainnya, orang tua harus banyak memberi kesempatan
kepada anak untuk terlibat dengan orang lain. Kontak dengan orang lain akan membei
kesempatan mengembangkan ketrampilan sosial dan komunikasi. Dengan begitu mereka
juga akan belajar mengalami akibat-akibat langsung yang bersifat alami dari
tingkah laku mereka.
Usaha orang tua yang utama adalah mengajarkan bagaimana berbicara dan
mendengarkan. Ketrampilan verbal penting bagi anak untuk kontak sosial yang
diperlukan dalam memuaskan kebutuhan mencintai dan dicintai.
Syarat utama keterlibatan ini bahwa anak merasa dicintai. Anak-anak sebenarnya mau
bertanggungjawab, tetapi mereka tidak akan disiplin dan belajar cara-cara
bertingkah laku yang lebih baik, kecuali kalau mereka merasa orang tuanya cukup
membantu dan menunjukkan cara-cara bertingkah laku yang bertanggung jawab secara
aktif. Syarat yang kedua, bahwa anak menjadi merasa berharga. Anak-anak yang tidak
pernah menerima tanggung jawab atas perbuatannya tidak akan mengalami dirinya
berharga. Harga diri akan datang pada seseorang yang mampu melaksanakan tugas-
tugas dengan simpulan berhasil. Orang tua yang ingin mengajar anaknya bertingkah
laku yang bertanggungjawab harus berbuat dalam wujud yang bertanggungjawab pula.

lC. Pengubahan Tingkah Laku
Tujuan Konseling Realita
Konseling realita membantu individu mencapai otonomi. Otonomi merupakan keadaan
kematangan yang menyebabkan orang mampu melepaskan dukungan lingkungan dan
menggantikannya dengan dukungan pribadi atau diri sendiri. Orang dapat bertanggung
jawab bagi siapa dirinya, apa yang mereka inginkan untuk menjadi, serta untuk
mengembangkan rencana-rencana yang realistis dan bertanggung jawab untuk mencapai
tujuan sendiri.
Konseling ini juga membantu individu dalam mengartikan dan memperluas tujuan-
tujuan hidup mereka. Dalam hal ini konselor membantu klien menemukan alternatif-
alternatif dalam mencapai tujuan, tetapi alternatif ini menentukan tujuan
konseling mereka sendiri. Glasser dan Zunin setuju bahwa konselor harus mempunyai
tujuan umum yang disadap dari pikiran klien atas dasar tanggung jawab individual
dan klien harus menentukan tujuan-tujuan tingkah laku bagi dirinya sendiri, mereka
menulis bahwa kriteria konseling yang sukses bergantung pada tujuan yang
ditentukan oleh klien.
2.Peranan Konselor
Tugas utama konselor adalah menjadi terlibat dengan kliennya dan kemudian
menghadapi klien ia harus mengusahakan agar klien mengambil keputusan. Konselor
tidak membuat pertimbangan nilai dan keputusan bagi klien, karena semuanya
merupakan tanggung jawab klien. Tugas konselor dalam hal ini melayani sebagai
pembimbing untuk membantu klien menaksir tingkah laku mereka secara realistis.
Menurut Glasser, konselor diharapkan memberi hadiah bila klien berbuat dalam cara
yang bertanggung jawab, dan menunjukkan penolakan bila mereka tidak
melaksanakannya. Konselor juga harus mengajar klien bahwa tujuan konseling bukan
kebahagiaan. Konselor berkeyakinan bahwa klien dapat menciptakan kebahagiaan
mereka melalui menerima tanggung jawab. Dengan demikian konselor tidak menerima
setiap penghindaran atas kenyataan atau tidak mengarahkan klien menyalahkan setiap
hal atau setiap orang karena ketidak bahagiaannya sekarang. Konselor diserahi
tugas untuk menentukan batas-batas dalam situasi konseling dan dalam alam
senyatanya. Kontrak, sebagai bagian proses konseling, mencakup laporan klien
tentang keberhasilannya dan kegagalannya dalam bekerja di sisi konseling. Kontrak
menentukan batas waktu tertentu untuk lamanya konseling. Peranan ini mengingatkan
kita pada ketrampilan komunikasi dasar Structuring , ketrampilan ini hendaknyatelah dikuasai sebelum kita membahas mengenai pendekatan konseling.
Kemampuan konselor untuk terlibat dalam proses penyembuhan dan membawa klien
terlibat dalam proses dipandang sebagai kemampuan tertinggi yang harus dikuasai
konselor. Hal ini seringkali menjadi peran yang sulit, khususnya bila klien tidak
mencari konseling atau bila mereka datang hanya semata-mata mencoba (coba-coba)
mendapatkan bantuan.
3.Hubungan Klien dengan Konselor
Sebelum konseling efektif dapat terjadi, keterlibatan antara klien dan konselor
harus berkembang. Klien perlu mengetahui bahwa orang yang membantu dia cukup
menerima dirinya dan membantunya menemukan kebutuhan-kebutuhan di dunia nyata.
Konseling realita didasarkan pada hubungan pribadi dan keterlibatan antara klien
dan konselor. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan
pada kapasitas orang untuk mengembangkan identitas berhasil, harus
mengkomunikasikan dirinya kepada klien bahwa dirinya membantu. Melalui
keterlibatan pribadi dengan konselor, klien banyak belajar mengenai hidup
ketimbang memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku yang tidak
bertanggung jawab. Konselor juga menunjukkan bantuannya melalui menolak untuk
memberikan celaan atau mengampuni klien. Konselor cukup membantu melalui
memandangnya atas dasar apa yang mereka dapat lakukan ketika menghadapi realita
hidup. Bersamaan dengan hubungan yang hangat ini rintangan-rintangan akan
terhindarkan. Tugas konselor mengaktifkan situasi bantuan (Therapeutyc), dimana
klien memahami hakekat, tujuan, dan arah hubungan.
Perencanaan menjadi langkah penting dalam konseling realita. Situasi konseling
tidak dibatasi diskusi antara konselor dan klien semata-mata. Mereka mengembangkan
bahwa sekali diadakan harus dilaksanakan. Perbuatan merupakan bagian lain yang
pokok dari konseling realita. Kerja yang paling bermakna adalah membantu klien
mengidentifikasi cara-cara bertingkah laku untuk mengubah tingkah laku gagal
ketingkah laku berhasil. Rencana harus dalam batas-batas motivasi dan kapasitas
setiap klien. Mereka tidak mutlak, tetapi cara-cara alternatif untuk memecahkan
masalah dan memperluas pengalaman hidup yang kaya akan keberhasilan. Rencana
perbuatan harus spesifik, konkrit, dan dapat diukur. Mereka tidak perlu kaku,
sejumlah rencana terus menerus dapat diterapkan untuk mengatasi masalah. Jika
suatu rencana tidak dilakukan, harus direevaluasi dan alternatif lain dapat
diperhatikan. Blasser dan Zunin menulis bahwa adalah bernilai positif, bila
rencana itu ditulis dalam bentuk kontrak. Selanjutnya klien dapat bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatan yang berikutnya dalam praktek langsung di kehidupan
sehari-hari.
Kunci lain dari konseling realita adalah adanya kesepakatan. Setelah individu
membuat pertimbangan nilai tentang tingkah laku mereka dan menentukan rencana
perbuatan, konselor membantu klien dalam membuat kesepakatan untuk menerapkan
rencana mereka dalam kehidupan sehari-hari. Resolusi dana rencana menjadi berarti
kalau keputusan dilaksanakan. Lebih lanjut mereka menyimpulkan bahwa ciri utama
individu yang memiliki identitas gagal adalah bahwa mereka memiliki ketidak
inginan yang kuat untuk membuat kesepakatan.
Dalam praktek tidak akan semua kesepakatan klien dapat dilaksanakan. Untuk itu
konselor mengaplikasikan konsep no-excersource . Ketika rencana gagal dilaksanakan, konselor tidak perlu mendengarkan keterangan-keterangan lain
mengenai kegagalannya. Dalam hal ini konselor tidak boleh mencela atau memprotes
klien yang gagal. Tugas konselor membantu klien sehingga klien menghadapi
kenyataan bahwa ia mengarungi kehidupan dengan mencoba menghindarkan diri, ia
harus bertanggung jawab atas tingkah lakunya. Konselor tidak pernah memaafkan
setiap tingkah laku klien yang tidak bertanggung jawab, bila ini terjadi
(memaafkan), berarti konselor telah menyetujui dan mendukung tingkah laku yang
tidak bertanggung jawab tersebut.
D. Mekanisme Pengubahan Tingkah Laku
1. Prosedur Konseling
a. Fase 1
: Keterlibatan (Involvement)
Orang datang ke konseling karena mereka telah gagal terlibat dengan orang lain.
Oleh karena itu, konselor harus mengkomunikasikan sejak awal bahwa mereka siap
membantu klien. Glasser menekankan pentingnya keterlibatan-kemampuan konselor
untuk terlibat merupakan keterampilan utama dalam melaksanakan konseling. Konselor
dapat menggunakan ungkapan pribadi (saya, kami, kita) dan meminta klien untuk
menggunakannya. Dalam hal ini konselor tidak menganggap klien sebagai orang ketiga
(dia,mereka).
Hubungan antara konselor dengan klien akan sempurna, apabila konselor menampilkan
dirinya secara tulus. Konselor yang bisa menampilkan ini semua harus memiliki
ciri-ciri sebagaimana yang dikatakan Glasser :
- Konselor adalah yang pertama-tama sebagai individu yang bertanggung jawab
yang dapat memenuhikebutuhannya sendiri.
- Konselor harus kuat, tidak pernah lepas jalan. Ia harus dapat bersama klien
dalam empati, tidak pernah mencela setiap tingkah laku klien yang tidak
bertanggung jawab
-Konselor harus orang yang hangat, sensitif, memiliki kemampuan memahami
tingkah laku orang lain.
- Konselor harus dapat berbagi kemampuan dengan klien yang selanjutnya dapat
melihat bahwa setiap individu dapat berbuat secara bertanggung jawab, walaupun
kadang-kadang sulit.
#Ciri-ciri itu harus tercermin sepanjang proses konseling. Hal yang paling penting
dalam mencipta keterlibatan adalah ceritakan dengan klien tentang segala sesuatu.
Perhatian khususnya ditujukan pada apa yang klien minati, pembicaraan yang
menyenangkan dalam berbagai hal merupakan cara yang terbaik untuk membantu orang
menjadi terlibat dalam pembicaraan.
b.Fase 2 : Anda adalah Tingkah Laku (You are Behavior)
Banyak pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada perasaan sebagai bagian
terpenting dari pengalaman manusia. Mengungkap dan memahami perasaan manusia
dipandang sebagai alat terbaik dari perubahan dalam konseling. Glasser melawan
pendapat ini, sebab ia percaya bahwa perubahan bagaimana orang merasa mengikuti
perubahan tingkah lakunya.
Cara lain menerima tingkah laku bermasalah dengan memusatkan perhatian pada
kejadian hidup waktu sekarang. Glasser mengartikan present sebagai kejadian atau
aktivitas sekarang. Tekanan perhatian diletakkan pada kekuatan yang dimiliki klien
bukan kelemahan klien. Klien seringkali memahami kegagalannya sekarang sangat
baik, tetapi tidak mengenal kekuatannya sebagai dasar untuk tingkah lakunya yang
bertanggung jawab.
c.Fase 3 : Belajar Kembali (Relearning)
Setelah keterlibatan antara klien dan konselor terjadi, konselor dapat memulai
membantu klien melihat bagaimana tingkah laku terakhir yang tidak realistis,
menolak tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan terakhir mengajari klien
cara-cara yang lebih baik dalam menemukan kebutuhanya di dunia nyata. Prinsip-
prinsip yang termasuk dalam fase ini terdiri dari tiga relearning, yaitu
Pertimbangan Nilai
Semua klien harus diminta untuk mengevaluasi tingkah lakunya sendiri. Setelah
tingkah lakunya sekarang dirinci, konselor menyuruh klien mengevaluasi tingkah
laku itu atas dasar tanggung jawab. Tingkah laku itu membantu atau merugikan diri
sendiri dan orang lain, jika merugikan harus diubah

Perencanaan Tingkah Laku yang Bertanggung Jawab
Setiap klien yang telah mengevaluasi tingkah lakunya yang tidak bertanggung jawab mereka siap membuat perencanaan. Perencanaan ini mencakup membuat rencana-rencana
khusus untuk mengubah tingkah laku tidak bertanggung jawab menjadi tingkah laku
bertanggung jawab. Yang paling penting, konselor membantu klien mengembangkan
rencana-rencana yang realistis
Kesepakatan
Konselor mengusahakan agar klien membuat kesepakatan (commitment) melaksanakan
rencana-rencana mereka.
d.Fase 4 : Evaluasi
Fase yang terakhir dalam prosedur konseling dalam rangka pengubahan tingkah laku
adalah evaluasi. Dalam fase ini antara konselor dan klien bersama-sama
mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan, sehingga
melalui fase ini akan dapat diketahui tingkat keberhasilan konselor dalam membantu
klien.
2.Teknik Konseling
Konseling merupakan proses belajar yang menekankan dialog rasional dengan klien.
Konselor secara verbal aktif mengajukan banyak pertanyaan tentang situasi
kehidupan klien sekarang. Konselor menggunakan pertanyaan pada seluruh proses
konseling untuk membantu klien menyadari tingkah lakunya, membuat pertimbangan
nilai atas tingkah lakunya, dan membangun rencana pengubahan tingkah laku. Untuk
itu dalam membantu klien digunakan teknik-teknik sebagai berikut :?
Melakukan main peran dengan klien
Menggunakan humor
Mengkonfrontasi klien dan tidak memberi ampunan
Membantu klien merumuskan rencana perubahan

10 komentar: