Minggu, 26 Juni 2011

PENGEMBANGAN DIRI
Setiap orang ingin tumbuh, berkembang, sukses, dan maju. Keinginan yang wajar dan pantas untuk didukung. Manusia tidaklah hanya sekedar fisik yang membutuhkan makan, minum, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Manusia ada dimensi-dimensi psikis yang juga harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Manusia adalah fisik yang mempunyai pikiran, perasaan, mata hati, dan emosi. Tidak hanya itu manusia juga mempunyai jati diri sebagai manusia karena ia bersatu dengan realitas keadaan sekitarnya.
Manusia memerlukan komunikasi dan interaksi dengan manusia lainnya, dan kebutuhan ini tidaklah dapat dihindarkan. Dalam hubungan dengan orang lain, ini semua yang ada dalam diri manusia baik fisik maupun psikis menjadi saling berhubungan, berinteraksi dan berkomunikasi. Dengan bantuan tubuhnya manusia melambangkan perasaannya, ekspresinya, keinginannya, emosinya dan pikiran-pikirannya. Oleh karenanya, dalam usaha mengembangkan diri pun dipengaruhi berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar manusia itu sendiri. Kemampuan seseorang untuk mengembnagkan dirinya, mengoptimalkan potensi yang dimilikinya, berbeda-beda dan seringkali kendala juga datang dari diri sendiri. Terkadang diri sendiri tidak menyadari atau tidak memahami potensi yang ada dalam diri sendiri, sehingga tidak mampu mengembangkan kemampuan atau potensi diri sendiri. Oleh karenanya pemahaman yang benar terhadap potensi diri sangatlah penting. Tulisan singkat ini akan mengungkapkan arti dan pentingnya pengembangan diri, strategi pengembangan diri, manajemen kepribadian, dan menuju kecerdasan emosional.
B. Pengertian Pengembangan diri
Setiap orang tidak ada yang sama persis satu dan lainnya. Setiap orang juga menginginkan ‘menjadi diri sendiri’ dan semua orang mendambakannya. Kita ternyata adalah pribadi yang ‘unik’ ‘khas’ dan ‘istimewa’. Kita sebagai manusia masih dalam proses yang berkembang untuk menjadi semakin ‘unik’ ‘khas’ atau ‘istimewa’. Hal-hal yang membantu perkembangan kita ada di sekitar kita, kita bisa memanfaatkannya untuk menjadikan diri kita ‘penuh’ ‘yang paling baik’ dan yang unik. Kita bukan orang lain, bukan tiruan manusia lain. Tetapi kita adalah kita. Oleh karena itu biarkanlah diri kita berkembang sekarang juga, karena waktu adalah kesempatan yang tak bakal terulang kembali. Kita hanya memiliki satu kehidupan. Hidup adalah hari ini dan mengarah ke hari esok, maka JADILAH DIRI YANG KHAS DENGAN MEMBIARKAN DIRI KITA BERKEMBANG. MULAILAH SEKARANG JUGA!
C. Arti dan Pentingnya Pengembangan Diri

Seperti telah diungkapkan di awal tulisan ini, pengembangan diri sangatlah penting, karena dengan mengembangkan diri kita, akan dapat dikenali potensi diri, motivasi diri sehingga dapat meraih kesuksesan baik fisik, intelektual, emosi, sosial, dan spiritual. Dengan mengembangkan diri, kita dapat juga menyebutkan konsep diri, ketika ditanya siapa diri kita? Konsep diri bukanlah konsep tunggal, misalnya, Ani adalah perempuan, saya seorang guru, saya seorang suami, dan lain-lain. Konsep diri adalah konsep jamak yang mencerminkan keseluruhan aspirasi, keinginan dan harapan. Misalnya, “saya adalah seorang guru, juga seorang istri, yang mempunyai dua orang anak, saya ingin bekerja untuk mengembangkan kemampuan intelektual saya, dan saya akan tetap bekerja dan membangun keluarga di tengah kesibukan saya, dan tetap berusaha mencurahkan perhatian pada anak-anak saya”
Kapan kita harus mengembangkan diri? Dimulai sekarang juga, jangan ditunda lagi karena kalau tidak pernah dicoba untuk memulai maka kita tidak akan pernah tahu potensi kita, tidak mengenali potensi kita atau bahkan tidak memahami diri kita sendiri. Mengapa kita harus mengembangkan diri kita? Karena semua potensi yang ada di diri kita akan dapat menunjang kesuksesan. Di mana kita mengembangkan diri? Dimana saja, kapan saja! Siapa yang harus mengembangkan diri? Setiap orang harus mengembangkan dirinya! Bagaimana caranya?
D. Strategi Pengembangan Diri

Strategi pengembangan diri dipaparkan secara singkat dan di ambil dari pendapat Martha Mary McGraw (1987) dalam bukunya 60 Cara Pengembangan Diri
1. Menjadi Diri Sendiri yang Khas.
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang sama persis, demikian pula sebaliknya tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat meniru secara persis. Dan tidak seharusnya kita meniru persis orang lain, kita adalah diri sendiri yang mempunyai khas-an yang tidak dimiliki oleh orang lain. Biarkan diri kita berkembang dengan ke khususan dan ke unikannya, dan jadikanlah hal itu menjadi modal dasar untuk meraih kesusksesan. Oleh karena itu menjadi diri sendiri yang khas dan unik adalah pilihan tepat.
2. Berkembang Terus
Kita adalah bagian dari lingkungan kita, mari kita lihat dan tatap diri kita. Kita pasti akan menemukan keindahan dalam diri kita. Jadilah tumbuh-tumbuhan yang selalu hijau. Tumbuh-tumbuhan yang tetap mekar sepanjang tahun, tanpa perlu ditanyakan apa sebabnya. Bunga-bunga liarpun bisa bermekaran menyemarakkan keindahan alam, dan di rumah kita. Kita adalah bunga itu.
Kita ajak sesama kita untuk bertukar pikiran, bertukar impian, maupun bertukar pengalaman. Kita tanyakan kepada mereka apa yang mereka miliki. Hal seperti ini dapat diibaratkan seperti penyerbukan silang. Senyumlah pada waktu kita mendengarkan pengalaman orang lain itu. Pasti akan ada manfaatnya bagi kehidupan kita.
3. Menjadi Menarik
Untuk menjadi menarik kita harus mengenali potensi dalam diri kita. Manarik tidak mesti cantik, gantheng, akan tetapi lebih pada pesona diri, apa yang ada di dalam diri kita. Untuk menjadi seseorang yang menarik kita bisa mengeksplore kemampuan kita, menyadari kekurangan kemudian menutupinya dan menonjolkan sisi lebih untuk membuatnya menjadi menarik. Menjadi menarik adalah juga merupakan pilihan. Seseorang akan memilih menjadi menarik atau masa bodoh tergantung dari dirinya sendiri. Percayalah bahwa diri kita betul-betul menarik. Keindahan kita diperhitungkan. Memang kita bukan ‘ratu kecantikan’ juga bukan orang yang paling tampan di seluruh negeri, tetapi percayalah bahwa kita memiliki ketampanan tersendiri. Jangan pernah merasa minder. Kita hanya perlu mengenal keindahan diri kita. Kita hanya perlu meyakinkah diri kita sendiri: “Bahwa saya sungguh sangat menarik”
Seseorang yang memiliki konsep diri negatif juga akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, rendah diri, merasa diri tidak layak untuk sukses dan masih banyak hal inferior lainnya. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya (Gunawan, 2005)
4. Bertanya Pada Diri Sendiri
Bertanyalah pada diri kita: “Siapa saya?” Mengapa saya diciptakan? Bagaimana saya berhubungan dengan sang pencipta? Apa yang sangat saya dambakan dalam hidup ini? Hal apa yang paling berharga dalam hidup saya? Sumbangan kecil apakah yang bisa saya buat demi dunia sekitar tempat saya berada agar menjadi lebih baik?
Jika saya berjalan, lalu melihat ke belakang, apa yang saya lihat? Apakah saya perlu mengubah sesuatu? Apakah saya sudah cukup puas dengan keberadaan diri saya?
Hanya dengan berdialog dengan mata batin kita secara jujur maka kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
5. Bersahabat
Setiap pribadi mampu bersahabat dengan kita, dan setiap individu dapat menjadi sahabat kita. Tiga keutamaan diperlukan dalam membangun persahabatan, Iman, Harapan dan kasih sayang. Tuhan yang pertama kali menjadi sahabat kita, pada waktu Ia menciptakan kita. Tiga keutamaan tersebut harus dibagi dengan orang lain. Kita bisa berharap dengan persahabatan. Kita bisa mengasihi dan menyayangi dengan persahabatan. Banyak sedikitnya sahabat tergantung pada sikap kita terhadap diri sendiri.
6. Mendukung Orang Lain
Jika pekerjaan kita kurang mendapatkan penghargaan barangkali kita masih mampu bertahan untuk hidup. Tetapi kita tidak akan mampu untuk bekerja keras dan baik kalau tidak ada seorangpun yang memperhatikan kita. Bisa jadi kita akan menjadi macet, malas, enggan bekerja. Ini berlaku bagi siapa saja. Kalau ada orang yang berhasil dan kita menepuk punggungnya sebagai tanda dukungan, dia pasti akan semakin berkembang.
Sebagai pemimpin/Kepala Sekolah memberikan pujian dan dukungan dengan tulus terhadap anak buah apapun keberhasilannya, seberapapun keberhasilan itu, akan menjadi semangat yang paling ampuh.
Namun jika perhatian dan dukungan kita palsu, pasti orang lain akan kecewa. Oleh karena itu kita perlu berusaha membri dukungan dengan maksud yang murni dan tulus tanpa pamrih, apalagi tersirat keirian.
7. Mengembangkan Talenta
Tidak pernah ada kata terlambat untuk mengerjakan hal-hal khusus yang kita inginkan. Terus dan lakukan saja! Barangkali memang sudah terlambat untuk belajar ’loncat galah’ (misalnya) seusia kita, Tapi itu kekecualian. Kita perlu menjebol keterbatasan kita. Kembalilah ’ke bangku sekolah atau kuliah’ Ikutilah lokakarya, seminar ataupun pelatihan. Kunjungilah ceramah-ceramah atau kita selenggarakan sendiri. Bidang apa yang kita kuasai? Beritahukanlah kepada teman sahabat, bahwa kita akan memberikan kuliah gratis, pasti kita akan menikmatinya demikian pula pendengarnya.
Talenta seseorang tidaklah sama, namun masing-masing orang pasti dibekali dengan talenta, tinggal bagaimana kita mengembangkannya, mengasahnya, untuk kemudian kita memetik hasilnya.
8. Membiarkan diri menjadi Bahagia, Belajar mencintai, Bernyanyi, Santai dan Tertawa.
Beberapa hal diatas adalah hal-hal yang menyenangkan yang mudah dilakukukan namun juga terkadang sulit untuk dilakukan. Apakah kita sungguh bahagia saat ini? Mari kita merenung, tahun-tahun yang telah lewat apa yang telah kita alami? Temukan saat-saat bahagia kita. Banyak orang telah menjadi ’sukses’ dalam hidupnya, tetapi tidak merasakan kedamaian. Jadilah bahagia sekarang juga. (Selanjutnya akan diuraikan tersendiri pada sub bab berikutnya).
Belajar mencintai bisa merupakan hal mudah bisa juga sebaliknya. Belajarlah mencintai apa yang telah kita raih dan kita miliki, mencintai Allah Swt. mencintai sesama, mencintai diri sendiri. Buatlah itu semua dengan cara yang tegas. Jangan ragu-ragu. Tataplah lawan berbicara manakala kita berbicara dengannya. Dengarkan baik-baik waktu mereka berbicara dengan kita. Biarkan mereka tahu bahwa kita penuh perhatian, sehingga mereka merasa senang dan berharga di hadapan kita. Biarkan orang tahu bahwa kita memperhatikan mereka, mencintai mereka. Ada pepatah, jabatan tangan mesara mempunyai seribu makna.
Benyanyi, santai, dan tertawa. Nikmatilah hidup dan kehidupan, bekerja juga perlu santai dan bergembira, karena ini akan mengendorkan ketegangan dan membuat kita nyaman. Ketika kita merasa nyaman secara fisik dan psikis maka aura kita akan muncul. Inner Beauty kita akan muncul, dan ini akan membuat nyaman semuanya.
9. Menjaga Kondisi Fisik
Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan. Jiwa mempengaruhi badan, sebaliknya badan juga mempengaruhi jiwa. Sadar akan kesatuan tersebut dan berbuat sesuatu untuk itu merupakan hal yang sangat penting.
Olah raga akan membuat fisik kita tetap dalam kondisi prima. Mulailah hari-hari kita dengan senam atau joging secara rutin, bisa pada waktu pagi atau sore hari. Buatlah diri kita selalu merasa sehat, sekalipun kondisi badan kita sedang tidak fit. Badan kita adalah kita, manakala kita merasa tensi naik, marah, ataupun sedih, cucilah mobil, potonglah rumput, berkebun, rawat bunga-bunga, lari-lari ataupun bersepeda.
10. Berbagi dengan Orang Lain
Apa yang kita miliki dan dapat dibagi dengan orang lain? Renungkanlah! Apapun yang dapat kita bagi, sekecil apapun itu akan sangat bermanfaat bagi kita dan bagi yang menerima. Apakah kita mempunyai pengalaman menarik, lucu, gembira, yang bisa dibagi dengan orang lain? Apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain? Untuk lingkungan? Untuk negara?
Berbagai dengan orang lain selain membahagiakan diri kita juga membahagiakan orang lain. Berbagai tidak hanya utnuk hal-hal kesenagngan saja terkadang pengalaman sedih dan gundah juga perlu berbagai agar kita menajdi ringan, dan dapat melangkah lagi. Berbagai pengalaman sedih bukan berarti mengeluh, harus dibedakan.
11. Memaafkan dan Melupakan.
Memaafkan dan berusaha melupakan adalah yang terbaik, namun terkadang sulit untuk dilakukan. Andaikan kita seorang pelupa yang jempolan, maka kita akan menjadi seorang pengingat yang paling bahagia. Belajarlah untuk memaafkan dan melupakan. Tidak akan menjadikan kita bahagia jika hati terluka satu kali dan diingat terus selamanya sepanjang waktu. Ketika seseorang menyakiti hati kita berterus teranglah dengan dia, senyumlah. Barangkali amat berat, tapi cobalah. Dan apapun masalahnya ada satu hal yang harus kita buat. Yakni memaafkan dan melupakan. Kita mampu mendapatkan kembali kedamaian hati. Kita dapat memeperolehnya dengan jalan memaafkan.
12. Berusaha untuk Tidak Tenggelam.
Suatu saat kita dapat berjumpa dengan apa yang disebut dengan ’kesulitan’, dalam situasi itu kita akan merasa berat. Tiba-tiba godaan muncul: ”untuk apa mengarungi lautan kehidupan?” Adakah tidak lebih baik kalau kita tenggelam saja di dalamnya? Demikianlah godaan yang selalu muncul manakala kita berada dalam saat krisis.
Tetapi bertahanlah. Berusahalah untuk tetap terapung di atas permukaan hidup. Percayalah banyak hal pasti akan menjadi lebih baik manakala kita mampu bertahan dalam situasi krisi itu.
13. Bersikap Lembut Namun Tegas
Bertindaklah tegas kalau situasinya memang menuntut demikian. Jangan takut untuk membela kebenaran. Jangan mudah percaya pada kebohongan. Dan jangan biarkan hidup kita jadi berantakan. Jadilah orang yang lembut. Lembut pada diri sendiri, pada orang lain dan pada kebaikan yang muncul dalam diri kita ataupun pada orang lain. Pupuklah kebaikan yang ada dalam diri kita walau itu sangat kecil. Namun hargailah pula kebaikan yang ada pada orang lain. Tetaplah tersenyum ketika kita harus mengatakan hal yang sangat tegas dan pasti.
14.”Joke” yang Cerdas
Bercanda dan lelucon amatlah penting dalam kehidupan kita, karena dengan hal itu kita bisa tertawa, bahkan bisa mentertawakan diri kita, kesalahan kita bahkan kenaif-an kita sekalipun. Banyak lelucon yang dapat kita buat, namun pilihlah lelucon yang cerdas, bukan yang porno. Banyak lelucon cerdas dan menggelitik yang akan membuat segar ruangan. Namun kita juga harus ingat masing-masing orang punya keterampilan ’melucu’ yang berbeda. Sekecil apapun berusahalah membuat joke di saat-saat yang tepat untuk mengurangi kejenuhan kerja pada diri sendiri dan rekan kita.
E. Manajemen Kepribadian
Kepribadian adalah kesatuan organisasi yang dinamis sifatnya dari sistem psikofisis individu yang menentukan kemampuan penyesuaian diri yang unik sifatnya terhadap lingkungannya (Alport, 1937)
Kepribadian itu merupakan perangsang atau stimulus sosial bagi orang lain. Reaksi orang lain terhadap saya itulah pribadi saya (pendapat May Morton dalam Kartono, 2005)
Kepribadian adalah segenap organisasi mental dari manusia pada semua tingkat dari perkembangannya. Ini mencakup setiap fase karakter manusiawinya, intelek, temperamen, keterampilan, moralitas dan segenap sikap, yang telah terbentuk sepanjang hidupnya, jadi mencakup seluruh kemampuan manusia dan segenap pengalaman sepanjang hidupnya (Warpen dalam Kartono, 2005)
Dari tiga pengertian tentang kepribadian tersebut tampak bahwa kepribadian bukanlah konsep tunggal, melainkan sangat kompleks dan semua itu ada dalam diri kita, dalam hidup kita. Oleh karenanya diperlukan keterampilan untuk mengelolanya agar kita menjadi pribadi yang menarik, bermanfaat, dan memepesona.
1. Motivasi untuk Merubah Sikap
Kepribadian pertama sekali dipengaruhi oleh motivasi. Pada hakikatnya sebuah motivasi adalah kekuatan yang mempunyai daya pembangkitan atau penimbulan motif, bisa juga dikatakan bahwa suatu kegiatan yang menjadi motif. Tingkah laku manusia dasarnya mempunyai motif. Mempelajari tingkah laku manusia, pada dasarnya adalah mengetahui secara pasti apa yang dilakukannya, bagaimana ia melakukanya dan mengapa ia melakukannya. Yang menjadi kendala untuk hal-hal tersebut biasanya berkenaan dengan pemahaman diri.
Motivasi adalah suatu keinginan yang hendak dicapai oleh setiap individu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan dirinya (Suparno, 2004) Akan tetapi pada kenyataannya tidak seorangpun yang dapat memuaskan semua kebutuhannya, dan itupun adanya saling mendapatkan dan saling melengkapi, apabila satu atau beberapa kebutuhan tidak dapat terpenuhi oleh kita, maka orang lain yang memenuhinya.
Motivasi sangat diperlukan untuk merubah sikap kita ke arah yang lebih baik, lebih maju, lebih berhasil dan sukses. Apabila kita tidak mempunyai motivasi untuk maju, maka kita juga merasakan bahwa keberhasilan hanyalah di ’awang-awang’. Sebaliknya jika kita mempunyai motivasi ingin terus maju dan berkembang, maka kesusksesan sudah di depan mata.
2. Mengapa Mesti Minder?
Bersyukurlah kepada Allah Swt. Yang telah menciptakan kita dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing. Kita adalah pribadi yang unik dan masing-masing orang tidak sama, biarkan diri kita berkemabang. Jangan mencaci maki diri sendiri. Jangan pernah merasa tidak berharga, kita adalah yang terbaik dan buatlah itu dari waktu ke waktu.
Pelajarilah segala sesuatu tentang diri kita, sekali lagi jangan menghina diri kita sendiri, meremehkan dan mengabaikannya. Jangan pernah menyesali apa yang ada pada diri kita, kenalilah potensi kita buatlah itu menjadi hal-hal yang menarik. Kalau kita mempunyai kelemahan jangan berputus asa, karena pada dasarnya setiap orang juga mempunyainya. Dan ingatlah, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
3. Ciptakan Kesempatan
Pada waktu kita mengarungi samudra kehidupan, pasti kita akan memeperoleh kesempatan, entah kapan? Namun kita juga harus berusaha untuk menciptakan kesempatan sendiri. Jadikanlah peluang sebagai suatu kesempatan dan ciptakan sebagai tantangan untuk dilaksanakan, dan sukses. Tanamkanlah ini pada pikiran kita. Tataplah hidup dan buatlah situasi untuk diri sendiri. Temukan tempat untuk kita, jangan menunggu diberi tempat oleh orang lain.
Hidup bukanlah soup kalengan yang dipanaskan kemudian dihidangkan. Hidup adalah tantangan dan perjuangan. Kalau kita mau kita pasti bisa menciptakan kesempatan. Semuanya bergantung pada kita. Dan tiada akhir jika tidak ada awal, maka mulailah!
4. Mempunyai Pendapat
Apabila kita memiliki pendapat, itu berarti bahwa kita telah memikirkan dan memutuskan suatu titik pandang tertentu. Janganlah cepat-cepat mengubah pendapat tersebut, manakala ada orang lain yang mempunyai pendapat yang berbeda. Bagaiamanapun juga pendapat kita memiliki alasan yang kuat. Tanyakanlah pada orang tersebut apa yang menjadi pendapatnya?
Andaikan kita menemukan kesalahan dalam pendapat kita, janganlah kita takut-takut untuk mengubahnya. Sebab itu bisa terjadi bahwa pendapat kita belum berpijak pada sebuah fakta yang ada. Janganlah malu untuk mengakui kesahalan kita. Mengakui kesalahan tidaklah berarti kiamat, justru menunjukkan kematangan dan kearifan kita.
Janganlah ’mandeg’ dalam satu garis pemkiran saja. Kita perlu memebedakan anatara ”memiliki” pendapat dengan ”bersikeras” pada pendapat.
5. Memandang dengan Menyeluruh (Holistik)
Jika kita hendak memutuskan sesuatu yang penting, pakailah ’kaca mata ukuran orang tua’ agar kita dapat melihat dengan cermat dan teliti. Pakailah juga berbagai jenis dan warna kacamata, agar keputusan yang kita hasilkan bukanlah keputusan yang dihasilkan dari kaca mata hitam putih saja, melainkan ada warna-warna lain yang sangat indah dan menarik.
Jagalah agar semuanya tetap dalam perspektif masa depan. Buatlah itu semua dengan tidak mengabaikan orang lain. Sebab bisa terjadi apa yang menurut kita tdak penting, ternyata amat penting bagi orang lain. Oleh karena itu bertindaklah secara cermat.
6. Jadilah Tajam
Pensil yang tajam akan menghasilkan tulisan yang tajam pula. Pisau yang tajam akan menghasilkan irisan yang bagus dan halus. Akal yang tajam pasti juga akan membuat kepuusan-keputusan tajam pula. Cobalah kita memahami peristiwa-peristiwa yang muncul dalam hidup kita, dan berusaha untuk memeprhatikan semuanya.
Berprinsiplah ”seperti gelas berisi air, jika airnya ditumpahkan terus lama kelamaan akan habis” maka kita harus mengisinya dengan air lagi. Demikian juga otak kita, asahlah, berdiskusi dengan teman, saling mengisi dan saling membelajari diri sesama teman akan sangat bermanfaat untuk mengisi otak kita.
Janganlah bingung ketika kita berada dalam bahaya berbuat kesalahan besar. Berbicaralah dengan orang lain yang menurut hemat kita memiliki pengalaman dan kebijaksanaan. Jadilah tajam, berdirilah tegak, amati semuanya setajam mungkin.
7. Menghargai Waktu
Adalah tidak benar kalau kita mengatakan bahwa kita tidak mempunyai waktu untuk berbuat sesuatu, yang lebih tepat adalah bahwa kita tidak mampu menguasai waktu kita sehingga kita tidak mampu melakukan sesuatu yang harus kita lakukan.
Kita harus mengatur waktu kita dengan ketat apalagi jika berhubungan dengan orang lain. Karena kepercayaan mahal harganya dan terkadang kita sulit menjaganya. Oleh karenanya, menjadi orang yang tepat waktu dan dapat mengelola waktu dengan baik adalah menjadi idaman setiap orang.
8. Mendengarkan dengan Telinga dan Mata
Apakah kita seorang pendengar yang baik? Atau setidaknya ada orang yang pernah mengatakan bahwa kita adalah seorang pendengar yang baik. Pada waktu berbicara, orang tidak hanya berkomunikasi dengan kata-kata, tetapi juga dengan ekspresi wajah, nada suara, gerak tangan dan tatapan mata. Jika kita seorang detektif yang bertugas menangkap petunjuk lewat tanda-tanda hal seperti itu jelas sangat berguna. Membaca bahasa tubuh seseorang amatlah penting untuk mengetahui maksud yang sebenarnya. Belajar mendengarkan orang lain akan membuat kita bijaksana.
9. Menghargai Diri Sendiri
Hargailah diri kita sendiri. Berbanggalah dengan diri kita, kita memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, apapun itu, sekecil apapun itu. Kita adalah sesuatu yang berharga.
Bayangkanlah diri kita sebagai bingkisan yang dikirimkan untuk diri kita sendiri. Gambarkan diri kita sebagai patung indah yang dibungkus dalam jerami dan kotak kayu berukir indah. Dan bingkisan itu untuk kita. Pada waktu kita membuka kotak dan menyibak jerami penutup karya seni itu, bayangkanlah bahwa barang tersebut hidup, bernafas, bermasa depan cerah, menyenangkan, praktis, memiliki keamampuan yang luar biasa. Dan itu adalah diri kita, sungguh kita adalah bingkisan bagi diri kita sendiri.
Kalau kita bisa menjaga, melindungi, memperlakukan dan menghargai diri kita sendiri maka orang lain juga akan melakukannya untuk kita.
10. Menghargai Sang Pencipta
Kita akan menemukan kesulitan untuk menngungkapkan dengan kata betapa kita sangat menghargai Sang Pencipta kita. Allah Swt. sangat mengagumkan, Imaginatif, Menarik, Fantastis, Penuh cinta dan kasih sayang, Maha Pemaaf. Pokoknya segalnya bagi kita.
Kita dapat ’berkomunikasi’ dengan-Nya, berterimakasih pada-Nya, Mengagungkan-Nya. Dan kita ”ada” disebabkan karena cinta dan kehendak-Nya.
11. ”You Can”, if you think ”You Can”
Apapun yang ingin kita raih akan berhasil jika kita yakin bahwa kita bisa dan akan berhasil. Bukan sebaliknya. Dengan pikiran dan keyakinan bahwa kita bisa, akan menjadikan semangat, motivasi dan harapan yang paling ampuh.
F. Menuju Kecerdasan Emosional
Kemampuan intelektual saja ternyata belumlah cukup. Kecerdasan emosional juga sangat diperlukan. Emosi bukanlah sesuatu yang buruk, bukan kata yang buruk. Emosi meliputi, sedih, senang, marah, benci, haru, cinta dan bahagia. Tinggal bagaimana kita mengelolanya, untuk menjadikan emosi kita seimbang, wajar dan bermanfaat.
1. Kendalikan Emosi
Menurut Jen Z.A. Hans ( 2006) Emosi negatif adalah peringatan dari Allah swt. Agar kita mengubah persepsi (cara pandang) dan prosedur (tindakan atau perilaku)
Apakah yang mengubah hidup kita? Tindakan! Apakah ibu dari segala tindakan? Keputusan! Aapakah semua keputusan diikuti dengan tindakan? Tidak! Keputusan yang diikuti dengan tindakan hanyalah keputusan yang diambil dalam suasana emosi yang tepat. Emosi yang tepat? Bukankah emosi berada di luar kendali kita? Bukankah emosi merupakan respon spontan atas kejadian atau perbuatan orang terhadap kita?
Kita dapat menempatkan diri dalam suasana emosi yang tepat, di mana dan kapan saja kita mengingikannya. Emosi sepenuhnya berada dalam kendali kita. Empat langkah berikut merupakan kiat untuk mengendalikan emosi:
a. Mengubah Persepsi
Allah mengikuti prasangka hamba-Nya. Jika hamba berprasangka baik, niscaya Allah akan memeperlakukannya dnegan baik pula, sebaliknya kalau hamba berprasangka buruk, maka Allah akan memperlakukan dengan buruk sesuai dengan prasangkanya. Berusaha bersabar, selalu bersyukur atas nikmat Allah, meluruskan niat, menyempurnakan ikhtiar, dan menyikapi hasil (baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan harapan)
b. Mengoptimalkan Fisiologi Tubuh Kita
Kondisi tubuh sangat mempengaruhi emosi. Postur tubuh yang baik (badan tegak pada posisi duduk dan berdiri, bahu sejajar dengan panggul) akan memepengaruhi fisiologi tubuh kita, sehingga berpengaruh pada emosi kita. Dalam keadaan marah misalnya, jika seseorang tersebut sedang berdiri, segeralah duduk, jika duduk belum bisa meredakan kemarahan kita, berbaringlah.
Ketika fisiologi tubuh kita, dalam posisi kepala tertunduk berjalan gontai, mata menatap ke bawah, maka emosi yang muncul adalah sedih, haru, nelongso bahkan menangis. Coba tegaklah, maka tidak akan ada menangis sambil kepala tegak berdiri dan tubuh tegap penuh optimis.
c. Menetapkan dan Mencapai Tujuan-Tujuan yang Berharga
Kalau kita sibuk menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan yang berharga, tak akan ada lagi tersisa waktu iri, dengki, riya’ dan mengalami sejumlah emosi negatif lain.
d. Gunakan Pereda Emosi
Ketika marah ucapkanlah astaghfirullah. Ketika sedih dan merasa kehilangan, ucapkanlah inna lillahi wa inna illaihi raajiuun. Ketika bahagia ucapkanlah, alhamdulillah. Ketika kagum, ucapkanlah subhanallah. Ketika takut, ucapkanlah Allahuakbar. Ketika panik, ucapkanlah la hawlaa walaa quwwaata illa billah. Atau kata-kata lain yang intinya semua berserah diri pada Allah Sang Pencipta.
2. Mengisi Sepuluh Tangki Kasih Sayang
Rahasia supaya tetap berhubungan dengan diri kita sejati adalah terus menerus menisi tangki kasih sayang. Sepajang tetap mengisinya, kita bukan saja akan mengalami meningkatnya kebahagiaan, kedamian, dan kepuasan, melainkan akan pula mampu bersentuhan dengan potensi batin dan kekuatan kita untuk menciptakan dan menark lebih banyak lagi. Begitu salah satu tangki terisi penuh, maka untuk tetap terhubung dengan diri sejati, Anda harus mulai mengisi tangki yang lain. Apabila sebuah tangki kasih sayang benar-benar penuh, tanda-tandanya tidak berupa rasa puas terus menerus. Malahan yang kerap muncul adalah rasa bosan atau gelisah dan akhirnya kekecewaan. Misalnya, kita merasa kecewa dengan kolega kita, sebetulnya kita merasakan kekosongan kolektif tangki-tangki kita yang lain. Ironisnya, tanda yang tidak mungkin keliru bahwa tangki sudah penuh adalah kesadaran bahwa kita kekurangan sesuatu.
Sepuluh tangki kasih sayang yang harus kita isi adalah:
a. Kasih sayang Allah
b. Kasih sayang orangtua
c. Kasih sayang Keluarga, sahabat, dan bersenang-senang
d. Kasih sayang teman sebaya dan teman lain yang memiliki sasaran sama
e. Kasih sayang dan cinta diri
f. Hubungan dan asmara
g. Mencintai anak
h. Memberi sumbangan kepada masyarakat
i. Memberi sumbangan kepada dunia
j. Mengabdi kepada Allah
3. Kebahagiaan Tidak bisa Dibeli dengan Uang
Ungkapan itu sangat familiar, meskipun orang masih saja gampang terjebak dalam jerat ilusi, bahwa sukses lahiriah mampu membahagiakan diri kita. Semakin kita beranggapan bahwa uang mampu membuat kita bahagia, semakin lemahlah kekuatan kita untuk mampu berbahagia tanpa uang.
Ungkapan lain yang juga sangat familiar adalah ”Yah…aku tahu sih, kalau uang memang tidak bisa bikin bahagia, tapi uang pastilah banyak gunanya” Ilustrasi berikut mungkin ada benarnya: ”Uang bisa membeli makanan yang enak, tapi tidak akan pernah bisa membeli rasa lapar. Uang bisa membeli ranjang yang empuk, tapi tidak akan pernah bisa membeli tidur yang nyenyak. Uang bisa membeli cinta dan nafsu, tapi tidak akan pernah bisa membeli kasih sayang”
Kegembiraan akan terasa bila kita berulangkali mengalami sendiri bahwa kebahagiaan tidaklah tergantung pada situasi lahiriah. Bukan uang yang membuat kita bahagia, tetapi keyakinan batin, perasaan, dan hasrat kita. Ketika memperoleh lebih banyak uang kita bahagaia karena kita beranggapan bahwa sekarang kita bisa menentukan apa yang kita mau. Kesempatan untuk bersikap seperti inilah yang sebenarnya membuat kita bahagia dan bukan uang itu sendiri. Untuk sejenak kita bisa bilang: ”Sekarang akau bisa mennetukan dan mengerjakan apa yang kumau”
Ketika kita merasakan sedikit saja rasa gembira atau senang maka tanamkanlah persaan itu pada diri dan aura disekitar kita, niscaya kita akan merasakan begitu luas dan besar kegembiraan dan kesenangan kita. Ibaratkan kegembiraan dan kesenangan adalah seperti ketika kita berendam dalam bak mandi, rasakan hangatnya air, pejamkan mata, dan ketika seluruh tubuh telah dialiri kehangatan air, bergeraklah sedikit saja, maka anda akan merasakan kehangatan itu makin merata dan terasa seluruh tubuh. Demikian pula dengan kebagaiaan, ibaratkanlah seperti itu.
4. Dunia Luar yang Membentuk adalah Dunia Dalam Kita
Apa yang terjadi dengan diri kita sebenarnya adalah kita yang menciptakan. Bagaimana dunia di sekitar kita adalah tergantung bagaimana kita memandang dan memikirkannya. Karena pikiran itu ibaratnya adalah menanam biji-bijian. Jika kita menanam biji murung maka kita akan mendapatkan kesedihan, jika kita menanm biji gembira dalam pikiran kita maka yang kita daptkan adalah kegembiraan, kebahagiaan dan kesenangan. Oleh karena itu biasakanlah mengganti biji pikiran dalam hidup agar dunia luar kita seperti apa yang kita inginkan. Proses mengganti biji pikiran inilah yang nantinya akan menimbulkan kepuasan dan kebahagiaan.
5. Bagaimana Mendapatkan Apa yang Anda Inginkan dan Menyukai yang Anda Miliki.
Tantangan sejati dalam hidup bukanlah bagaimana mendapatkan apa yang kita ingnkan, melainkan bagaimana tetap menginginkan apa yang telah kita dapatkan. Banyak orang tahu bagaimana mendapatkan yang diinginkannya tetapi setelah itu mereka tidak lagi menikmatinya. Apapun yang mereka peroleh rasanya tidak pernah cukup, mereka selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Mereka tidak bahagia dengan dirinya sendiri, hubungan-hubungannya, kesehatannya, atau pekerjaannya. Selalu ada yang mengganggu ketenangan batinnya.
Tantangan lain adalah adalah bagaimana tetap merasa bahagia dengan segala kekurangan, tetapi menginginkan lebih banyak. Terkadang kita selalu menginkan ’hal yang lebih’ menginginkan mobil mewah, menginginkan uang yang banyak, menginginkan rumah mewah dan lain-lain. Maka justru kita akan sadar bahwa kita tidak membutuhkan lebih banyak untuk merasa bahagia. Kita cukup memerlukan sedikit saja dalam batin dan jiwa kita, dan kita gerakkan kebahagiaan itu niscaya nanti auranya akan memenuhi ruangan di mana kita berada.
Kalau kita selalu merasa kurang maka kita tidak akan pernah merasa cukup, maka apapun yang kita dapatkan rasanya tidak lagi memenuhi dan tidak lagi kita inginkan. Oleh karenanya mengisi sepuluh tangki kasih sayang sangat diperlukan agar kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dan tetap menyukai apa yang telah kita miliki.
G. Catatan Penutup
Hidup adalah sebuah pilihan, bertambah usia dan menjadi tua adalah niscaya, tapi menjadi bahagia dan bijaksana adalah pilihan.
PROSES KONSELING BEHAVIORALISTIK.

 Masalah Klien merasa kurang tegas.
 Keinginannya menjadi lebih tegas.
 Teknik Assertive Trainning dengan Role Playing.

Konseli bernama Dewi.

1. ASSESMENT.

Konseli : (mengetuk pintu) Assalamu’alikum.
Konselor : (membuka pintu dan menjemputnya) Wa’alikum salam dewi, (silahkan duduk dewi.
Konseli : Makasih Pak ,…!!
Konselor : Bagaimana kabarnya dewi hari ini?
Konseli : Alhamdulilah. Baik-baik saja Pak?
Konselor : Syukur Alhamdulillah, terima kasih dewi sudah menemui bapak, ada apa nih? Kayanya ada yang ingin dewi bicarakan yach, sama bapak ??
Konseli : Iya nih, pak,..? dewi merasa kurang tegas dalam melakukan sesuatu?
Konselor : Misalnya apa dewi?
Konseli : Gini pak,…?? Dewi sudah punya pacar, tetapi ada cowo yang perhatian sama dewi melebihi cowo dewi sendiri.
Konselor : Terus gimana dewi?
Konseli : Karena dewi sering di perhatikan, lama-lama dewi suka sama cowo itu, sedangkan dewi sudah punya pacar?
Konselor : Dewi inginnya bagaimana?
Konseli : Dewi ingin tegas memilih salah satu dari mereka?
Konselor : Ohw jadi gitu, yang telah menjadi beban dewi selama ini yach, baiklah bapak akan mencoba membantu masalah dewi.

2. GOAL SETTING.

Konselor : Iya, Baiklah Bapak akan mencoba untuk masalah dewi dengan cara bermain peran (Role Playing). Bagaimana dewi mau ,..??
Konseli : Apa itu Role Playing Pak?
Konselor : Role Playing itu misalnya dewi mencoba untuk jadi cowo dewi, dan dewi mencoba jadi cowo yang perhatian sama dewi.
Konseli : Jadi dewi pura-pura jadi orang lain Pak,..??
Konselor : Iya dewi, gimana dewi siap?
Konseli :Oke Pak?

3. TEKNIK IMPLEMENTASI.

Konselor : Iya. Baiklah bapak akan mulai membantu dewi dengan metode Role Playing ( bermain Peran).
Konseli : Oke Pak,.??
Konselor : Silahkan dewi memulai bermain peran (Role Playing) yach, yang tadi sudah bapak jelaskan pada dewi.
Konseli : Iya, Pak,…?? Dewi akan mencoba untuk memulainya,..!!
( 5 sampai 10 menit kemudian)
Konselor : Bagaimana dewi, apakah dewi merasa nyaman dengan masalah dewi, setelah dewi bermain peran (Role playing) dan mengutarakan semua kata-kata yang menjadi beban dewi selama ini.
Konseli : Dewi (Sambil Menangis dengan wajah tersenduh-senduh, sambil berkata) Iya Pak,..?? dewi merasa lega. Terima kasih banyak yach, atas bantuan yang bapak berikan kepada dewi.
Konselor : Sama-sama, bapak juga senang bisa membantu dewi ko.
Konseli : Ohw yach, kalau masalah dewi belum selesai, Dewi bias ko datang lagi kesini.
Konselor : Oke Pak? Saya pasti akan kembali ke bapak untuk ngasih kabar,.??

4. TAHAP EVALUASI.

Konselor : Bagaimana hasilya dewi?
Konseli : Alhamdulilah pak? Dewi tuh, sudah bisa tegas menentukan jalur keluar masalah dewi sendiri, mana cowo yang terbaik untuk dewi?
Konselor : Jika dewi, sudah dapat menentukan masalahnya bapak juga ikut senang.
\Konseli : Ohw yach ,.. Dewi juga mengucapkan terima kasih, bapak telah meluangkan waktu untuk Dewi.
Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu:
(1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;
(3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain;
(4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan
(5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.
Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.
PENDEKATAN PEMBELAJARAN HUMANISTIK

1. Pengertian Belajar

Yang dimaksud dengan belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu. Perubahan ini terjadi terus-menerus dalam diri individu yang tidak banyak ditentukan oleh faktor turunan atau genetik. Perubahan ini mungkin terjadi dalam pengetahuan, keterampilan, sikap, kepribadian, pandangan hidup, persepsi, norma-norma, motivasi, atau gabungan dari unsur-unsur itu. Tentu saja perubahan itu terjadi sebagai dampak dan pengalaman yang diperoleh dalam situasi khusus. Penyebab terjadinya perubahan itu mungkin dengan sengaja dan sistematis, mungkin meniru perbuatan orang lain, atau mungkin juga tanpa sengaja dirancang terlebih dahulu.

2. Pendekatan Pembelajaran Humanistik

Pendekatan pembelajaran humanistik memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya.
Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanistik adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship).Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan dirinya secaraoptimal.
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan BAGI siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi “dunia”, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem- “fungsi” -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal. Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanistik serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.

3. Model - Model Pembelajaran Humanistik

Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
• Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
• Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
• Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik. Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
• The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
• Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

4. Aspek-Aspek Kemanusiaan Pembelajaran Humanistik.
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya.Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya, manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali.
Hal ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun otak kiri,yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
TEORI KONSELING BEHAVIOR

Konsep utama.
(D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosfor , Bandura, Wolpe dll)
Konsep behavioral : perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.

Thoresen (shertzer & Stone 1980, 188) memberikan ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut: :
1. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari oleh sebab itu dapat diubah.
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individu dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaku yang relevan. Prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan
3. Prinsip-prinsip belajar spesial seperti : “reinforcement” dan “social modeling” , dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar wawancara prosedur-prosedur konseling.
5. Prosedurprosedur konseling tidak statik, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didesain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.
Proses konseling.

Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190) konsseling behavior merupakan suatu proses membantu orang untuk memecahkan masalah.interpersonal, emosional dan keputusan tertentu.
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalan konseling yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey, 1986, 178) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dan klien sebagai berikut:

1. Konselor menjelaskan maksud dan tujuan
2. Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling.
3. Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan.
4. Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik.
5. Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan.
6. Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan.
7. Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut : untuk meneruskan konseling atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.
Teknik Teori:
Mengenai metode konseling, Krumboltz menkategorikan menjadi empat pendekatan yaitu:
1. pendekatan operant learning. Hal yang sangat penting adalah penguatan yang dapat menghasilkan prilaku klien yang dikehendaki.
2. Metode unitatif learning. Diterapkan oleh konselor dengan merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh klien.
3. metode cognitive learning atau pembelajaran kognetif. Merupakan metode pengajaran yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peran
4. metode emosional learning atau pembelajaran emosional diterapkan kepada individu yang mengalami suatu kecemasan.
Analisis
Teori ini lebih menitik beratkan pada seorang konselor yang harus dapat menjadi seorang model sehingga klient dapat mencontoh dan memperbaiki prilakunya yang menyimpang.
KONSELING DI PERGURUAN TINGGI
Konseling Psikologi Individual (Alfred Adler)
Hakekat Manusia
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Calvin S. Hall dan Gardner dalam A. Supratiknya (1993:241)
Manusia tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan:
a. Tanggung jawab sosial
b. Pemenuhan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
Perkembangan Kepribadian
•Struktur kepribadian
1)Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat sampai dengan lima tahun.
2)Pada awalnya manusia dilahirkan Feeling Of Inferiority (FOI) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kearah Feeling Of Superiority (FOS).
3)Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungan itu.
4)Dalam pada itu sosial interest-nya pun berkembang
5)Selanjutnya terbentuk Life Style (LS) yang unik untuk masing-masing individu (human individuality) yang bersifat :
(a)Self-deterministik.
(b)Teleologis.
(c)Holistik.
6)Sekali terbentuk Life Style (LS) sukar untuk berubah. Perubahan akan membawa kepedihan. Prayitno (1998:51).
•Kepribadian yang normal (sehat).
Freud memandang komponen kehidupan yang normal/sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”, namum bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Motivasi dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan dengan oleh gaya hidupnya.
Dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun kekhususan hubungan dengan orang dan pranata sosial ditentukan oleh pengalaman bergaul dengan masyarakat. Rincian pokok teori Adler mengenai kepribadian yang norma/sehat adalah sebagai berikut:
1)Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior.
2)Persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian
3)Semua fenomena psikologis disatukan didalam diri individu dalam bentuk self.
4)Manfaat dari aktivitas manusiaharus dilihat dari sudut pandang interes sosial
5)Semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self.
6)Gaya hidup dikembangkan melalui kreatif individu. Alwisol (2006:78)
•Kepribadian yang menyimpang (TLSS)
Sebab utama TLSS adalah perasaan FOI yang amat sangat yang ditimbulkan oleh:
1)Cacat mental atau fisik
2)Penganiayaan oleh orang tua
3)Penelantaran.
Apabila ketiga hal diatas dibesar-besarkan maka FOI akan semakin berkembang. TLSS adalah hasil dari pengaruh lingkungan, yang pada umumnya berawal dari tingkah laku orang tua sewaktu masih kanak-kanak. Apabila pada diri individu berkembang situasi tegang karena memuncaknya perasaan FOI, maka TLSS mulai berkembang:
2)Upaya mengejar superioritas yang berlebihan.
(a)terlalu keras, hingga menjadi kaku (rigid).
(b)Perfeksionistik tidak wajar.
3)Sosial interes terganggu.
(a)Hubungan sosial tidak mengenakkan.
(b)Mengisolasi diri (selfish). Prayitno (1998:52).
Tujuan Konseling
Tujuan konseling adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style (LS) serta mengurangi penilaian yang bersifat negatif terhadap dirinya serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dan dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Hal ini dilakukan bertujuan membentuk gaya hidupnya yang lebih efektif. Prayitno (1998:52).
Proses dan Teknik Konseling
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga, keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
Kharakteristik konselor
(a)Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi dengan baik
(b)3 M dan Objektif
Contohnya
Klien yang mengalami kekurangan/kelebihan salah satu organ tubuh. Misalnya; jari tangan kanan berjumlah tujuh. Hal ini mengakibatkan klien merasa rendah diri, dan merasa dirinya aneh jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungannya.

Konseling Psikologi Individual (Alfred Adler)


Hakekat Manusia
Adler berpendapat bahwa manusia pertama-tama dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial. Menurut Adler manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. mereka menghubungkan dirinya dengan orang lain, ikut dalam kegiatan-kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial diatas kepentingan diri sendiri dan mengembangkan gaya hidup yang mengutamakan orientasi sosial. Calvin S. Hall dan Gardner dalam A. Supratiknya (1993:241)
Manusia tidak semata-mata bertujuan untuk memuaskan dorongan-dorongannya, tetapi secara jelas juga termotivasi untuk melaksanakan:
a. Tanggung jawab sosial
b. Pemenuhan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
Perkembangan Kepribadian
•Struktur kepribadian
1)Dasar kepribadian terbentuk pada usia empat sampai dengan lima tahun.
2)Pada awalnya manusia dilahirkan Feeling Of Inferiority (FOI) yang selanjutnya menjadi dorongan bagi perjuangannya kearah Feeling Of Superiority (FOS).
3)Anak-anak menghadapi lingkungannya dengan kemampuan dasarnya dan menginterpretasikan lingkungan itu.
4)Dalam pada itu sosial interest-nya pun berkembang
5)Selanjutnya terbentuk Life Style (LS) yang unik untuk masing-masing individu (human individuality) yang bersifat :
(a)Self-deterministik.
(b)Teleologis.
(c)Holistik.
6)Sekali terbentuk Life Style (LS) sukar untuk berubah. Perubahan akan membawa kepedihan. Prayitno (1998:51).
•Kepribadian yang normal (sehat).
Freud memandang komponen kehidupan yang normal/sehat adalah kemampuan “mencintai dan berkarya”, namum bagi Adler masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan memperdulikan kesejahteraan mereka. Motivasi dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan dengan oleh gaya hidupnya.
Dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun kekhususan hubungan dengan orang dan pranata sosial ditentukan oleh pengalaman bergaul dengan masyarakat. Rincian pokok teori Adler mengenai kepribadian yang norma/sehat adalah sebagai berikut:
1)Satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses atau menjadi superior.
2)Persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian
3)Semua fenomena psikologis disatukan didalam diri individu dalam bentuk self.
4)Manfaat dari aktivitas manusiaharus dilihat dari sudut pandang interes sosial
5)Semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self.
6)Gaya hidup dikembangkan melalui kreatif individu. Alwisol (2006:78)
•Kepribadian yang menyimpang (TLSS)
Sebab utama TLSS adalah perasaan FOI yang amat sangat yang ditimbulkan oleh:
1)Cacat mental atau fisik
2)Penganiayaan oleh orang tua
3)Penelantaran.
Apabila ketiga hal diatas dibesar-besarkan maka FOI akan semakin berkembang. TLSS adalah hasil dari pengaruh lingkungan, yang pada umumnya berawal dari tingkah laku orang tua sewaktu masih kanak-kanak. Apabila pada diri individu berkembang situasi tegang karena memuncaknya perasaan FOI, maka TLSS mulai berkembang:
2)Upaya mengejar superioritas yang berlebihan.
(a)terlalu keras, hingga menjadi kaku (rigid).
(b)Perfeksionistik tidak wajar.
3)Sosial interes terganggu.
(a)Hubungan sosial tidak mengenakkan.
(b)Mengisolasi diri (selfish). Prayitno (1998:52).
Tujuan Konseling
Tujuan konseling adalah membantu klien menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari life style (LS) serta mengurangi penilaian yang bersifat negatif terhadap dirinya serta perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dan dalam mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bisa mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat sosialnya. Hal ini dilakukan bertujuan membentuk gaya hidupnya yang lebih efektif. Prayitno (1998:52).
Proses dan Teknik Konseling
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga, keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
Kharakteristik konselor
(a)Untuk itu diperlukan keterampilan berkomunikasi dengan baik
(b)3 M dan Objektif
Contohnya
Klien yang mengalami kekurangan/kelebihan salah satu organ tubuh. Misalnya; jari tangan kanan berjumlah tujuh. Hal ini mengakibatkan klien merasa rendah diri, dan merasa dirinya aneh jika dibandingkan dengan teman-teman dilingkungannya.

Konseling Self (Carl Rogers)
Konseling self

Carl Rogers adalah pencetusnya. Riwayat hidup: masa kecil diasuh dengan hangat namun kurang kesempatan dalam bermain. Masa kanak-kanak kesepian.
1.Hakekat Manusia
Menerima kliien tanpa syarat (apa adanya).

Rogers menekankan pandangan bahwa tingkah laku manusia hanya dapat dipahami dari bagaimana dia mamandang realita secara subjektif. Pendekatan ini disebut humanistik, karena sangat menghargai individu sebagai organisme yang potensial. Setiap orang memiliki potensi untuk berkembang mencapai aktualisasi diri. Rogers juga mengemukakan 19 rumusan pandangan mengenai hakekat pribadi (self). Alwisol (2006: 317)

2.Perkembangan Kepribadian
a.Struktur kepribadian.
Struktur kepribadian dalam teori Rogers meliputi:
1) Organisme adalah tempat semua pengalaman, segala sesuatu, yang secara potensial terdapat dalam kesadaran setiap saat, yakni persepsi seseorang mengenai event yang terjadi di dalam diri dan dunia eksternal. Organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau dialaminya (realitas) dan satu kesatuan sistem, sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yakni bertujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
2) Lapangan Fenomena meliputi pengalaman internal (persepsi mengenai diri sendiri) dan pengalaman eksternal (persepsi mengenai dunia luar). Lapangan fenomena juga meliputi pengalaman yang disimbolkan (diamati dan disusun dalam kaitannya dengan diri sendiri), disimbolkan tetapi diingkari/dikaburkan (karena tidak konsisten dengan struktur dirinya), dan tidak disimbolkan atau diabaikan (karena diamati tidak mempunyai hubungan dengan struktur diri). Pengalaman yang disimbolkan disadari, sedangkan pengalaman yang diingkari dan diabaikan tidak disadari. Semua persepsi bersifat subjektif, dengan kata lain benar menurutnya sendiri. Medan fenomena seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi empirik, itupun pengetahuan yang diperoleh tidak bakal sempurna.
3) Self merupakan satu-satunya struktur kepribadian yang sebenarnya. Dengan kata lain self terbentuk melalui deferiensiasi medan fenomena dan melalui introjeksi nilai-nilai orang tertentu serta dari distorsi pengalaman. Self bersifat integral dan konsisten. Pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur self dianggap ancaman dan self dapat berubah sebagai akibat kematangan biologik dan belajar. Konsep self menggambarkan konsepsi mengenai dirinya sendiri, ciri-ciri yang dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Misalnya, orang mungkin memandang dirinya sebagai; “saya cerdas, menyenangkan, jujur, baik hari, dan menarik”. Alwisol (2006: 322)
b.Keperibadian yang normal (sehat)
Terdapat keseimbangan antara organisme, lapangan fenomena dan self sebagai hasil dari interaksi individu untuk selalu berkembang.
c.Keperibadian yang menyimpang (TLSS).
1) Adanya ketidakseimbangan/ketidaksesuaian antara pengalaman organismik dan self yang menyebabkan individu merasa rapuh dan mengalami salah suai.
2) Kharakteristik pribadi salah suai:
Estrangement: membenarkan apa yang ses ungguhnya oleh diri sendiri tidak mengenakkan.
Incongruity in behavior: ketidaksesuaian tingkah laku karena COW; hal ini sering menimbulkan kecemasan
Kecemasan: kondisi yang ditimbulkan oleh adanya ancaman terhadap kesadaran tentang diri sendiri.
Defense mechanism (DM), tindakan yang diambil oleh individu agar tampak konsisten terhadap struktur self (yang salah itu)
3) Gejala TLSS:
(a)Kecemasan atau ketengan terus menerus
(b)Tingkah laku yang rigid (tidak luwes)
(c)Menolak situasi baru
(d)Salah dalam memperhatikan.
3. Tujuan Konseling
Pada dasarnya klien sendiri menentukan tujuan konseling, konselor hanya membantu klien menjadi lebih matang dan kembali melakukan aktualisasi diri dengan menghilangkan hambatan-hambatannya. Namun secara lebih khusus membebaskan klien dari kungkungan tingkah laku (yang dipelajarinya) selama ini, yang semuanya itu membuat dirinya palsu dan terganggu dalam aktualisasi dirinya.
4.Proses dan Teknik Konseling
1)Klien merasa nyaman berada bersama konselor, karena konselor tidak pernah merespon negatif.
2)Klien didorong untuk sebanyak mungkin menggunakan kata ganti “saya”.
3)Klien didorang untuk melihat pengalaman-pengalamannya dari sudut yang lebih realistik.
4)Klien mengekspresikan perasaan yang benar-benar ia rasakan.
5)Klien didorong untuk kembali menjadi dirinya. Prayitno (1998:64)
5.Kharakteristik konselor
(a)Kongruen
(b)Menerima positif tanpa syarat (unconditioning positif regard), dan
(c)Empatik. Alwisol (2006:333)
6.Contohnya:
Klien yang mengalami kesulitan dalam berteman/terlalu kaku (rigid) terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini akan menghambat aktualisasi diri klien untuk diterima di masyarakat.

Konseling Analisis Transaksional
B.STRUKTUR KEPRIBADIAN
Setiap orang memiliki:
a. Ego child: reaksi emosional yang spontan, humor.
b. Ego parent : membimbing, mengarahkan, membantu dan merawat.
c. Ego adult: rasional, objektif dan bertanggungjawab
Ini terbentuk pada 5 tahun pertama
Unsure:
1. Ego diistilahkan dengan egostate (pernyataan ego). Perasaan dan kondisi psikis dan pola-pola tingkahlaku.
2. Setiap manusia ingin mendapatkan sentuhan yang bersifat fisik dan psikis.
C. PEMAKAIAN EGOSTATE
1. NORMAL: BERFIKIR DAN MERASA SESUAI DENGAN KONDISI
2. TERSELUBUNG: TIDAK DAPAT MENGUNGKAPKAN EMOSI
3. Kaku: hanya menampilkan satu egostate dalam setiap keadaan.
D. MOTIVASI HIDUP
1. Memenuhi kebutuhan fisik.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis
Ingin mengatur waktu, ingin mengisi waktu.
3. Ingin memiliki posisi hidup. (SOKO, SOKTO, STOKTO, STOKO).





1. Pemakaian egostate tunggal
G. Tujuan konseling
1. Mencapai egostate adult
H. Konseling
1. Permission: memunculkan apa yang selama ini dilarang orangtua kepada anak
2. Proteksi: Asas kerahasiaan
3. Interogasi: bertanya secara terbuka, tegas dan merangsang
4.
5. Analisis struktur
6. Menganalisis transaksi
7. Analisis permainan
8. Analisis naskah hidup
I. Karakteristik konselor
1. Hangat
2. Terbuka
TEORI KONSELING UNTUK ANAK YANG MENCONTEK

PENGGUNAAN TERAPI REALITAS DALAM KONSELING
(D.E. NAAT)

Pengantar
Dewasa ini kita diperhadapkan dengan berbagai krisis kehidupan. Beban yang harus dipikul oleh sementara orang terasa begitu berat sebagai akibat dari persoalan yang datang silih berganti seakan-akan tiada akhirnya. Peristiwa-peristiwa seperti: bencana alam, krisis ekonomi berkepanjangan, ketiadaan lapangan pekerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK), persoalan rumah tangga serta seabrek persoalan kehidupan lainnya merupakan realitas yang tidak bisa disangkal. Situasi demikian diperburuk oleh melambungnya harga barang dan jasa, sementara rendahnya daya beli maupun merosotnya nilai mata uang kita semakin menambah berat beban hidup masyarakat kelas bawah. Belum lagi masalah pemukiman dan kebutuhan primer masyarakat miskin di kota-kota besar yang acapkali datang bersamaan. Bayangkan saja, jika sebuah keluarga miskin yang bermukim di kota besar suatu ketika harus menghadapi kenyataan masa kontrak rumahnya berakhir atau digusur; pada saat bersamaan ia sedang menganggur, anggota keluarganya ada yang sakit sedangkan kebutuhan makan-minum pun tidak ada lagi.
Realitas kehidupan seperti ini menyebabkan banyak orang yang mengalaminya mengambil jalan pintas, menghalalkan segala cara, masa bodoh dan apatis, pesimis menghadapi hari esok. Bermacam-macam perilaku yang tidak bertanggungjawab disertai tindak kriminalitas merupakan hal yang mudah terjadi dalam masyarakat. Tak jarang pula ada yang harus mengalami gangguan emosional seperti, putus asa, stress. depresi, bunuh diri untuk mengakhiri kekalutan hidupnya.
Beberapa kasus dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa ketidaksiapan menerima realitas menimbulkan persoalan spiritual dan psiko- emosional. Dua belas pengintai yang diutus Musa untuk mengamat-amati keadaan tanah Kanaan, menemukan realitas yang faktual mengenai penduduk negeri, kota-kotanya serta hasil buminya. Sepuluh orang pengintai itu, selain Kaleb dan Yosua, kemudian menimbulkan kepanikan dan ketakutan luar biasa di antara umat. Bangsa Israel kemudian bersungut-sungut melawan Musa dan Allah (Bil. 13-14:38). Realitas telah mempengaruhi perilaku mereka. Dengan begitu kecemasan, ketakutan, sungut-sungut dan pemberontakan lantas mewarnai keadaan umat Israel secara keseluruhan.
Kisah lain dapat kita simak dari Perjanjian Baru, yakni penyangkalan Simon Petrus. Ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa seorang hamba perempuan yang menyebut dia sebagai salah seorang dari murid-murid Yesus, ia pun menyangkal (Luk.22: 54-62). Petrus tidak sanggup mempertahankan tekadnya untuk membela sang Rabbi (Mat. 26:31-35), karena realitas memang amat berbeda dengan sekedar tekad yang membara. Perilaku Petrus pun berubah seiring dengan peristiwa itu. Ia yang dahulunya bereaksi spontan dan terkesan pemberani, kini tak ubahnya dengan seorang pria melankolik yang harus menangisi kegagalannya.
Alkitab sepanjang masa telah melukiskan beragam krisis kehidupan yang dialami oleh umat Israel. Kendati demikian kepada mereka senantiasa ditawarkan jalan keluar melalui nabi-nabi yang diutus untuk memberikan teguran, nasihat dan pertolongan. Salah satu diantaranya dengan cara mengingatkan mereka untuk berani menghadapi kenyataan sebagai sebuah konsekuensi perbuatan di masa lalu maupun sebagai sebuah tawaran agar mereka menemukan jalan keluar yang harus ditempuh.
Penggunaan Terapi Realitas (Reality Therapy) Dalam Konseling
Jika konseling dipandang sebagai sebuah proses pertolongan kepada konseli agar mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya, maka kita dapat menggunakan sumber-sumber maupun instrumen konseling yang memadai untuk tujuan dimaksud. Dari antara sejumlah metode terapi dan konseling yang telah dirumuskan oleh para ahli, salah satu di antaranya yang dapat digunakan dalam konteks ini adalah terapi realitas (reality therapy) Terapi realitas dapat digunakan sebagai alternatif pelayanan kepada anggota jemaat yang bermasalah. Tentu dengan menyeleksi unsur-unsur positif yang terkandung di dalamnya dan menyingkirkan pokok pemikiran yang tidak sesuai dengan iman Kristen.
Sehubungan dengan hal itu, Gerald Corey dalam bukunya, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, mengatakan bahwa terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan kepada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai suatu “identitas keberhasilan” dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga dan perkembangan masyarakat. Terapi realitas meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar dan menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
Sedangkan menurut Paul D. Meier, dkk., terapi realitas yang diperkenalkan oleh William Glasser memusatkan perhatiannya terhadap kelakuan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan tiga hal (3-R): realitas (reality), melakukan hal yang baik (do right), dan tanggungjawab (responsible).
Individu harus berani menghadapi realitas dan bersedia untuk tidak mengulangi masa lalu. Hal penting yang harus dihadapi seseorang adalah mencoba menggantikan dan melakukan intensi untuk masa depan. Seorang terapis bertugas menolong individu membuat rencana yang spesifik bagi perilaku mereka dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang telah dibuatnya. Dalam hal ini identitas diri merupakan satu hal penting kebutuhan sosial manusia yang harus dikembangkan melalui interaksi dengan sesamanya, maupun dengan dirinya sendiri. Perubahan identitas biasanya diikuti dengan perubahan perilaku di mana individu harus bersedia merubah apa yang dilakukannya dan mengenakan perilaku yang baru. Dalam hal ini terapi realitas dipusatkan pada upaya menolong individu agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya.
Pokok-Pokok Pemikiran Terapi Realitas
Pendapat tradisional yang beranggapan bahwa seseorang berperilaku tidak bertanggungjawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berperilaku tidak bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli. Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process). Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan maksud agar konseli dapat meneyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
Faktor alam bawah sadar sebagaimana ditekankan pada psiko-analisis Freud tidak diperhatikan karena Glasser lebih mementingkan “apa” daripada “mengapa”-nya.
Terapi realitas menolong individu untuk memahami, mendefinisikan, dan mengklarifikasi tujuan hidupnya.
Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau kepepet, dsb.
Terapi realitas transferensi yang dianut konsep tradisional sebab transferensi dipandang suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi.. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
Penggunaan Terapi Realitas dalam Pelayanan Konseling Kristen
Paul Meier, dkk., mengatakan bahwa terapi realitas tampaknya memiliki pengaruh yang besar terhadap konseling Kristen karena menekankan tanggung jawab individu dan berusaha membedakan apa yang benar dan salah. Para psikoterapis umumnya hanya menyerukan dengan lantang kepada konseli untuk menghadapi kenyataan, melakukan yang terbaik dan bertanggungjawab, namun mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar klien. Karena itu seorang konselor Kristen, juga berusaha memenuhi kebutuhan dasar konseli: kasih dan rasa berharga (love and self-worth).
Apabila kebutuhan-kebutuhan konseli sebagaimana dikemukakan di atas merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam terapi realitas maka hal itu sedikit banyak dapat tercapai bila dilakukan oleh para pelayan Tuhan dan konselor Kristen. Oleh karena hanya melalui relasi yang intim dengan Yesus Kristus, seorang konselor dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kasih tanpa syarat kepada konseli bukan kasih yang bersifat temporer dan situasional; bukan hanya kasih karena keprihatinan kita kepada klien sebagai sesama kita (filia) melainkan harus dilandasi kasih yang rela menerima apa adanya tanpa tendensi balas budi atau pamrih. Itu sebabnya kasih agape yang bersumber dari Allah itulah yang memungkinkan seorang konselor Kristen secara efektif dapat memainkan peranannya dengan melihat seginifikansi terapi realitas dalam konseling Kristen..
Sebagaimana ditekankan oleh Gary Collins bahwa umat Kristen merupakan sebuah kelompok terapis, tidak hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan antara sesama konseli atau antara konseli dengan konselor yang terlatih, tetapi mencakup para keluarga, kelompok studi, sahabat yang dapat dipercaya, rekan profesional, kelompok karyawan mapun sejmlah orang yang seringkali menyediakan bantuan yang diperlukan baik pada masa-masa krisis, maupun pada saat individu menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Orang-orang percaya dalam gereja lokal dapat memberikan dukungan (support) kepada anggota-anggotanya, menyembuhkan mereka yang sedang menghadapi masalah, serta membimbing orang ke arah pengambilan keputusan untuk melangkah maju ke arah kedewasaan iman.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka signifikansi selektif terapi realitas yang dapat digunakan dalam pelayan konseling Kristen, antara lain:
Perubahan perilaku. Glasser beranggapan bahwa perilaku yang tidak bertanggungjawab dari seorang konseli sebagai penyebab gangguan mental sebenarnya sejalan dengan asumsi konseling Kristen. Larry Crabb mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab untuk percaya pada kebenaran yang akan menghasilkan perilaku yang bertanggungjawab yang akan menyediakan baginya makna, pengharapan dan kasih yang berfungsi sebagai penuntun kepada hidup yang lebih efektif dengan orang lain sebagaimana dengan dirinya sendiri. Crabb lebih lanjut mengatakan bahwa manusia tidak bertanggungjawab dalam hidupnya karena berusaha untuk mempertahankan diri terhadap rasa tidak aman dan tidak signifikan (Ams. 23:7). Kebutuhan akan rasa aman: kasih tanpa syarat, diterima telah dijamin oleh Allah dalam Kristus Yesus. Perubahan perilaku ditekankan oleh Rasul Paulus agar orang percaya tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaruan budi, sehingga dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna (Roma 12: 2).
Berpatokan pada nilai benar dan salah. Konseling terhadap individu yang mengalami berbagai persoalan kehidupan dewasa ini harus tetap berpatokan dan menjunjung tinggi nilai benar dan salah. Agaknya persoalan etis tidak diabaikan dalam konsep terap realitas. Sebab itu dalam pelayanan konseling Kristen bilamana terindikasi bahwa persoalan diakibatkan oleh masalah etika dan tatanilai, maka konseli harus didorong untuk bertanggungjawab dengan memperhatikan nilai benar dan salah. Bilamana persoalan yang dialaminya diakibatkan oleh dosa maka ia patut dibimbing untuk memohon pengampunan dari Kristus dan tidak menjadikan gangguan mental sebagai alasan untuk melanjutkan perilaku keberdosaannya (1 Yoh.1:7-9; Kis.5:1-11).
Pengalaman masa lalu konseli tidak boleh dijadikan alasan dalam menghadapi realitas kehidupan. Terapi realitas menolak mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah (guilty feelings), maka hal ini merupakan sesuatu yang positif agar konseli berani melangkah menghadapi kenyataan sekarang. Demikian pula masa lalu seseorang yang meninggalkan trauma bisa dihindari dengan cara konselor membantu konseli untuk melupakan pengalaman buruk di masa lampau (Fil.3:13-14). Misalnya, orang yang pernah mengalami pemutusan hubungan kerja harus ditolong untuk menyingkirkan trauma itu. Ia tidak boleh beranggapan bahwa bila bekerja lagi pasti akan kena PHK sehingga ia memilih untuk berdiam diri dan menyesali nasib. Konselor perlu memotivasinya untuk mencari pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegagalan di masa lampau tidak seharusnya menjadi alasan untuk menghindari realitas kehidupan. Meskipun begitu, Gary Colins mengingatkan bahwa pengalaman-pengalaman hidup masa lalu (past life experiences), terutama peristiwa-peristiwa yang terjadi di usia dini, acapkali menambah angka stress yang menimbulkan suatu krisis. Sebagai seorang konselor, kita harus menolong konseli untuk memahami bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol jalan hidupnya, tetapi ia tidak harus dibanjiri oleh perasaan ketiadaan harapan dan tidak bisa ditolong.
Terapi realitas menolak alasan pembenaran terhadap perbuatan tertentu sangat positif untuk dijadikan perhatian dalam konseling Kristen. Kecenderungan untuk mencari kambing hitam dengan menuding orang lain atau mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya harus ditolak. Contoh, seorang suami yang berselingkuh dengan wanita lain tidak selayaknya menggunakan alasan “khilaf” untuk membenarkan perbuatannya. Ia tidak boleh menjadikan kekurangan istrinya, atau ketidak-harmonisan rumahtangga sebagai alasan perbuatan yang dilakukannya.
Pemikiran terapi realitas yang memfokuskan upaya pertolongan kepada konseli agar dapat memahami dan menerima keterbatasan dirinya perlu dikembangkan dalam konseling Kristen. Sebagai contoh, orangtua yang tidak mampu secara ekonomi dan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya kerap tidak mau menerima dirinya sebagai orang yang kurang mampu demi gengsi. Bahkan ia akan menolak bantuan yang diberikan dengan tulus oleh pihak lain (donatur, diakoni gereja, dll.) terhadap dirinya atau keluarganya. Konseli seperti ini perlu disadarkan akan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka terhadap pertolongan Tuhan yang disalurkan melalui orang lain.
Melalui terapi realitas konseli dibantu untuk merubah cara berpikir dan paradigma lama yang dianutnya dengan kukuh. Cara berpikir, paradigma yang dianut, serta sikap kaku yang cenderung menutup diri terhadap realitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita acapkali menjadi pemicu lahirnya berbagai konflik menyangkut sistem nilai, dan sebagainya.
Oleh karena terapi realitas juga menggunakan teknik konfrontasi, yang sejalan dengan konseling nouthetis sebagaimana digunakan secara luas oleh Jay Adams, maka hal ini dapat digunakan dalam mengkonseling klien yang mengalami persoalan karena dosa. Konfrontasi diharapkan dapat mengoreksi kesalahan konseli dan membantu dia mengubah perilaku berdasarkan pengajaran yang diberikan kepadanya.
Terapi realitas yang menekankan kelakuan konseli yang bertanggungjawab terhadap realitas, perbuatan baik dan tanggungjawab; pada dasarnya erat kaitannya dengan pemenuhan lima kebutuhan dasar manusia yang dibuat oleh Abraham Maslow, sebagaimana dikutip oleh Larry Crabb, yaitu:
kebutuhan fisik (physical): adalah unsur-unsur penting untuk memelihara kehidupan fisik manusia (makan-minum,tempat tinggal, dsb).
Rasa aman (security/physical security): kayakinan bahwa kebutuhan fisik kita akan tersedia pada hari esok.
Kasih (love): yang disebut rasa aman oleh Crabb.
Tujuan: signifikansi (Crabb)
Aktualisasi diri: ekspresi kualitas terbaik manusia: mengembangkan diri secara penuh, kreatif, ekspresi diri pribadi.
Menurut Crabb, semua kebutuhan tersebut di atas telah disediakan oleh Allah Bapa. Orang Kristen menempuh perjalanan untuk memperolah kebutuhan 1-4 dengan roda iman: kebutuhan fisik (Mat. 6:33); rasa aman (Mat.6:34; Fil.4:6;19); kebutuhan akan kasih (Roma 8:35,39); tujuan/signifikansi ( Fil. 1:21; Ef.2:10; Mzm. 103:4).
Dalam mengadopsi terapi realitas para konselor Kristen hendaknya tetap berpatokan pada Alkitab sebagai dasar proses konseling. Terapi realitas menjadi instrumen pendukung di mana konseli ditolong untuk meninggalkan pengalaman masa lalu yang merupakan penghalang baginya agar mampu bangkit untuk menyongsong masa depan yang disediakan Tuhan. Sebagaimana pengalaman Yeremia yang terus menerus meratap dan berdukacita atas hukuman yang datang silih berganti atas umat Tuhan, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23). Ketika Yeremia mencoba berdiri di masa lalu maka yang ia hadapi adalah kesengsaraan dan tekanan dalam diri/tekanan batin (Rat.3:19-20). Namun pada saat ia menyadari hal itu dan mulai beralih pada sikap penuh harap dan optimis (Rat.3:21) , maka ia akhirnya melihat realitas penyertaan dan pemeliharaan Tuhan.
Dengan menggunakan terapi realitas seorang konselor Kristen menolong konseli untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dihadapi dan secara bertanggungjawab melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya berdasarkan realita yang dihadapinya. Dengan begitu maka diharapkan akan terjadi pemulihan dalam diri konseli untuk kembali menemukan signifikansi dan aktualisasi diri sebagai umat Tuhan yang berharga di mata-Nya (Yes. 43:4).
Upaya pertolongan demikian dapat diberikan kepada anggota jemaat yang sedang menghadapi kesulitan. Sebagai contoh, pertolongan yang hendak dilakukan oleh seorang konselor Kristen terhadap seorang suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan. Kepada klien tersebut dibimbing untuk menerima kenyataan bahwa ia sedang tidak bekerja (jobless) sehingga dengan sendirinya ia tidak memiliki penghasilan pula. Di sisi lain ia harus diingatkan untuk bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mencari pekerjaan atau melakukan pekerjaan apa saja, yang penting halal untuk menghidupi keluarganya. Sementara proses pertolongan demikian dilakukan, seorang konselor Kristen pada waktu bersamaan membangun kembali identitas diri sang suami agar ia tidak merasa minder, tidak mandek (burn-out) apalagi merasa tidak berguna lagi sebagai seorang suami yang gagal menghidupi keluarganya. Gereja merupakan tempat di mana kebutuhan sosial orang tersebut dipenuhi. Seorang konselor Kristen menjadi mediator baginya untuk menghubungkan dengan anggota jemaat yang memiliki peluang untuk merekrut atau mempekerjakan orang tersebut. Atau paling tidak ia dapat menghubungkan dengan pihak-pihak lain yang kemungkinan bisa menolongnya keluar dari krisis kehidupan yang dialaminya.
Dalam pelayanan contoh kasus yang dapat ditangani melalui terapi realitas beraneka ragam. Misalnya: seorang mahasiswa teologi yang suka menyontek, harus bertanggungjawab atas perilakunya dengan menerima sanksi akademis tertentu dan berjanji untuk tidak mengulanginya di masa mendatang. Ia harus menyadari pula bahwa hal menyontek adalah salah (dosa). Seorang pendeta yang temperamental harus menerima kenyataan bahwa jemaatnya pindah ke gereja lain, atau menerima kenyataan bahwa ia tidak dikasihi oleh jemaatnya. Ia harus merubah perilaku tersebut dengan mencontoh Tuhan Yesus sebagai figur Gembala Yang Baik.
Pada kasus lain di mana seorang mantan direktur yang jatuh bangkrut, diliputi oleh rasa putus asa sehingga tidak lagi mau melakukan apapun demi kehidupannya dan keluarganya. Permasalahannya adalah bahwa ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia sekarang miskin, bukan lagi direktur yang memiliki segala-galanya. Gaya hidupnya masih ingin dipertahankan sebagai orang kaya: hidup mewah, makan enak, foya-foya, dsb. Padahal ia tidak lagi memiliki penghasilan untuk yang memadai untuk mendukung gaya hidup seperti itu. Tragisnya, mantan direktur ini tidak mau menerima tawaran pekerjaan dari konselor yang ingin membantunya keluar dari krisis yang dihadapinya, bila gaji yang akan diterimanya tidak setara dengan apa yang pernah diterimanya sebagai seorang direktur. Dalam kasus ini agaknya terapi realitas sangat relevan untuk menolong klien tersebut agar dapat menerima realita yang kini berada di pelupuk matanya.
Kasus-kasus konseling sebagaimana dikemukakan di atas mewakili sekian banyak permasalahan konseling yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari akhir-akhir ini. Dalam kaitan tersebut Singgih D. Gunarsa menandaskan bahwa terapi realitas bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada klien untuk bisa mengambangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilkinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka perlu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Perilaku yang dimaksud adalah kebutuhan dasar manusia, yakni :kasih sayang dan merasa diri berguna (love & self-worth). Terapi dengan menggunakan pendekatan terapi realitas secara aktif membantu klien memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan dalam realitas terapi adalah membangun relasi yang hangat, pribadi dan bersahabat antara konselor dengan konseli yang diwarnai pula oleh sikap saling memahami dan menerima. Keuntungan dari terapi realitas tampaknya terletak pada jangka waktu terapi yang relatif singkat dan berurusan dengan masalah-masalah tingkah laku sadar. Konseli diperhadapkan pada keharusan mengevaluasi tingkah lakunya sendiri dan membuat pertimbangan nilai.
Di samping itu terapi realitas menekankan agar orang bertanggungjawab atas perilakunya, melihatnya secara kritis, bertanggungjawab atas perbuatannya, serta berjanji untuk mengubahnya. Konseli harus berani menghadapi situasi saat ini daripada berupaya menghindarinya dengan cara yang destruktif.
Pada masa kini gereja dan para pelayan Tuhan diperhadapkan dengan kompleksitas persoalan jemaat yang tidak jauh berbeda dengan lukisan yang dihadapi bangsa Israel. Jemaat sebagai anggota masyarakat yang juga tidak luput dari imbas krisis multi dimensi pada dasarnya membutuhkan pertolongan agar mereka mampu menghadapi kenyataan serta menemukan jalan keluar dari problema kehidupan yang melilitnya. Dalam situasi seperti ini sebagai seorang pelayan Tuhan, para konselor dan terapis harus berusaha memberikan pertolongan kepada mereka untuk berani menghadapi realitas kehidupan ini serta dapat mengatasi persoalan kehidupan yang dialaminya. Perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak Allah perlu pula diubah yang memungkin konseli mengetahui kehendak Allah bagi dirinya. Lebih daripada semuanya itu terapi realitas merupakan sinergi antara konselor dan konseli sesuai dengan tujuan konseling Kristen yakni agar konseli menemukan kembali pemulihan jatidirinya (1 Tes. 5: 14, 23).
KELEMAHAN TEORI HUMANISTIK
a. Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya। Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

b. Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul। Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
c. Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki। Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
d. Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri। Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
e. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri। Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri. Menurut Abraham Maslow, kepribadian bisa mencapai peringkat teratas ketika kebutuhan-kebutuhan primer ini banyak mengalami interaksi satu dengan yang lain, dan dengan aktualisasi diri seseorang akan bisa memanfaatkan faktor potensialnya secara sempurna.

Kelemahan konseling realita
KONSELING REALITA
KKonseling realita pada hakekatnya menentang pendekatan konseling lain yang
memperlakukan klien sebagai individu yang sakit. Konseling ini sangat populer di
kalangan petugas bimbingan sekolah dan tempat-tempat rehabilitasi, karena pada
konseling ini setiap orang, termasuk siswa selalu dihadapkan pada sebuah kenyataan
(realita) hidup, sehingga pendekatan ini tepat untuk dipelajari dan dikuasai untuk
diterapkan oleh konselor. Konselor mengajarkan tingkah laku yang bertanggung
jawab.
Konseling realita dicetuskan oleh William Glasser yang lahir pada tahun 1925 dan
menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di Cliveland, Obio. Pertumbuhannya
relative tanpa hambatan, sehingga ia memahami dirinya sebagai lelaki yang baik.
Glasser meninggalkan kota kelahirannya setelah ia masuk Perguruan Tinggi. Ia
memperoleh gelar dari Case Western Reserve University. Ia menikah setelah tamat
sarjana muda dan setelah sekolah dokter ia memindah keluarganya ke West Coast
karena memperoleh perumahan di UCLA. Ia membuat rumah pribadi di California
Selatan.Glasser kemudian pindah ke perumahan Rumah Sakit Administrasi Veteran
(VA.Hospital) di Los Angeles Barat. Di rumah sakit ini diketemukan contoh klasik
kerja psikiatri konvensional. Ia ditugasi di Sal 206 yang merawat pasien psikotik
kronis.Glasser menamakan program terapi sebagai tiga penyembuhan mental
tradisional yang di dalamnya pasien diterima sebagai orang yang sakit mental dan
diberi penyembuhan yang telah baku. Dengan hanya sembuh dua pasien setahun
menunjukkan ketidak efektifan penyembuhan yang telah baku itu. Tidak puas dengan
kenyataan ini, Glesser mulai memperhatikan kemungkinan penyembuhan alternatif dan
mencoba prosedur baru. Ia mendapat dorongan dari supervisornya di rumah sakit,
namun sejawatnya di UCLA tidak puas dan tidak mendukung meterial yang dibutuhkan.
Pada tahun 1961 Glasser mempublikasikan konsep reality therapy (baca Konseling
Realita) dalam bukunya pertama yang berjudul Mental Health or Mental Illnes
kepada sekolah-sekolah, sehingga guru-gurunyapun mendapatkan pelatihan tentang
pendekatan konseling realita.
A.Pandangan tentang Manusia

Walaupun Glasser tidak memaparkan idenya menjadi pokok pikiran, namun ide-idenya
dapat disaripatikan menjadi sejumlah pokok pikiran sebagai berikut :
1.Konselor umumnya memandang individu atas dasar tingkah lakunya. Hal ini
tidak berarti memandang tingkahlaku atas dasar model stimulus-respon sebagaimana
yang dilakukan pendekatan behavioral, atau melihat tingkahlaku secara
fenomenologis sebagaimana penganut konseling pusat pribadi (person centered).
Pendekatan realita memandang tingkah laku berdasar pengukuran obyektif, yang
disebut realita. Ia berupa realitas praktis dan realitas moral.
2.Manusia memiliki kebutuhan psikologis tunggal yang disebut kebutuhan akan
identitas yang sudah barang tentu identitas yang sukses, yaitu identitas bahwa
manusia perlu dicintai dan mencintai.
3.Pandangan terhadap hakikat manusia mencakup pernyataan bahwa manusia
memiliki tiga kekuatan untuk tumbuh yang mendorong menuju ke identitas sukses.
Sudut pandang ini menyiratkan bahwa oleh karena individu dapat mengubah bagaimana
mereka hidup, merasakan dan bertingkah laku, maka mereka dapat pula merubah nasib
mereka. Pengubahan identitas merupakan bagian dari pengubahan tingkah laku.
4.Sejalan dengan pokok pikiran butir ke 3, kekuatan tumbuh bukanlah dari
pembawaan, melainkan diperoleh dari hasil tingkah laku yang harus dipelajari.
Proses belajar dimulai sejak dini, dalam hal ini peranan keterlibatan rang tua
menjadi sangat diharapkan. Orang tua yang bertanggungjawab membuat keterlibatan
dengan anak-anak mereka melalui cinta, mengajarkan disiplin dan memberikan contohahan konseling realita yang baik.
5. Konseling realita tidak terikat pada filsafat deterministik dalam memandang
manusia, tetapi membuat asumsi-asumsi bahwa pada akhirnya manusia mengarahkan diri
sendiri. Prinsip ini berarti mengakui tanggung jawab setiap orang untuk menerima
akibat dari tingkah lakunya.
B.Perkembangan Tingkah Laku
Konseling realita mengidealkan tingkah laku sebagai individu yang tercukupi
kebutuhannya akan cinta dan harga diri. Setiap orang belajar untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, yang pda gilirannya akan mengembangkan tingkah laku yang
normal, yakni yang bertanggungjawab dan berorientasi pada realita serta
mengidentifikasi diri sebagai individu yang berhasil atau sukses.
Glasser berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (cinta dan harga diri)
merupakan peristiwa belajar. Sehingga orang tua yang bertanggung jawab akan
membuat keterlibatan dengan anaknya melalui cinta, mengajar, disiplin dan
memberikan contoh. Perwujudan lainnya, orang tua harus banyak memberi kesempatan
kepada anak untuk terlibat dengan orang lain. Kontak dengan orang lain akan membei
kesempatan mengembangkan ketrampilan sosial dan komunikasi. Dengan begitu mereka
juga akan belajar mengalami akibat-akibat langsung yang bersifat alami dari
tingkah laku mereka.
Usaha orang tua yang utama adalah mengajarkan bagaimana berbicara dan
mendengarkan. Ketrampilan verbal penting bagi anak untuk kontak sosial yang
diperlukan dalam memuaskan kebutuhan mencintai dan dicintai.
Syarat utama keterlibatan ini bahwa anak merasa dicintai. Anak-anak sebenarnya mau
bertanggungjawab, tetapi mereka tidak akan disiplin dan belajar cara-cara
bertingkah laku yang lebih baik, kecuali kalau mereka merasa orang tuanya cukup
membantu dan menunjukkan cara-cara bertingkah laku yang bertanggung jawab secara
aktif. Syarat yang kedua, bahwa anak menjadi merasa berharga. Anak-anak yang tidak
pernah menerima tanggung jawab atas perbuatannya tidak akan mengalami dirinya
berharga. Harga diri akan datang pada seseorang yang mampu melaksanakan tugas-
tugas dengan simpulan berhasil. Orang tua yang ingin mengajar anaknya bertingkah
laku yang bertanggungjawab harus berbuat dalam wujud yang bertanggungjawab pula.

lC. Pengubahan Tingkah Laku
Tujuan Konseling Realita
Konseling realita membantu individu mencapai otonomi. Otonomi merupakan keadaan
kematangan yang menyebabkan orang mampu melepaskan dukungan lingkungan dan
menggantikannya dengan dukungan pribadi atau diri sendiri. Orang dapat bertanggung
jawab bagi siapa dirinya, apa yang mereka inginkan untuk menjadi, serta untuk
mengembangkan rencana-rencana yang realistis dan bertanggung jawab untuk mencapai
tujuan sendiri.
Konseling ini juga membantu individu dalam mengartikan dan memperluas tujuan-
tujuan hidup mereka. Dalam hal ini konselor membantu klien menemukan alternatif-
alternatif dalam mencapai tujuan, tetapi alternatif ini menentukan tujuan
konseling mereka sendiri. Glasser dan Zunin setuju bahwa konselor harus mempunyai
tujuan umum yang disadap dari pikiran klien atas dasar tanggung jawab individual
dan klien harus menentukan tujuan-tujuan tingkah laku bagi dirinya sendiri, mereka
menulis bahwa kriteria konseling yang sukses bergantung pada tujuan yang
ditentukan oleh klien.
2.Peranan Konselor
Tugas utama konselor adalah menjadi terlibat dengan kliennya dan kemudian
menghadapi klien ia harus mengusahakan agar klien mengambil keputusan. Konselor
tidak membuat pertimbangan nilai dan keputusan bagi klien, karena semuanya
merupakan tanggung jawab klien. Tugas konselor dalam hal ini melayani sebagai
pembimbing untuk membantu klien menaksir tingkah laku mereka secara realistis.
Menurut Glasser, konselor diharapkan memberi hadiah bila klien berbuat dalam cara
yang bertanggung jawab, dan menunjukkan penolakan bila mereka tidak
melaksanakannya. Konselor juga harus mengajar klien bahwa tujuan konseling bukan
kebahagiaan. Konselor berkeyakinan bahwa klien dapat menciptakan kebahagiaan
mereka melalui menerima tanggung jawab. Dengan demikian konselor tidak menerima
setiap penghindaran atas kenyataan atau tidak mengarahkan klien menyalahkan setiap
hal atau setiap orang karena ketidak bahagiaannya sekarang. Konselor diserahi
tugas untuk menentukan batas-batas dalam situasi konseling dan dalam alam
senyatanya. Kontrak, sebagai bagian proses konseling, mencakup laporan klien
tentang keberhasilannya dan kegagalannya dalam bekerja di sisi konseling. Kontrak
menentukan batas waktu tertentu untuk lamanya konseling. Peranan ini mengingatkan
kita pada ketrampilan komunikasi dasar Structuring , ketrampilan ini hendaknyatelah dikuasai sebelum kita membahas mengenai pendekatan konseling.
Kemampuan konselor untuk terlibat dalam proses penyembuhan dan membawa klien
terlibat dalam proses dipandang sebagai kemampuan tertinggi yang harus dikuasai
konselor. Hal ini seringkali menjadi peran yang sulit, khususnya bila klien tidak
mencari konseling atau bila mereka datang hanya semata-mata mencoba (coba-coba)
mendapatkan bantuan.
3.Hubungan Klien dengan Konselor
Sebelum konseling efektif dapat terjadi, keterlibatan antara klien dan konselor
harus berkembang. Klien perlu mengetahui bahwa orang yang membantu dia cukup
menerima dirinya dan membantunya menemukan kebutuhan-kebutuhan di dunia nyata.
Konseling realita didasarkan pada hubungan pribadi dan keterlibatan antara klien
dan konselor. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan
pada kapasitas orang untuk mengembangkan identitas berhasil, harus
mengkomunikasikan dirinya kepada klien bahwa dirinya membantu. Melalui
keterlibatan pribadi dengan konselor, klien banyak belajar mengenai hidup
ketimbang memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku yang tidak
bertanggung jawab. Konselor juga menunjukkan bantuannya melalui menolak untuk
memberikan celaan atau mengampuni klien. Konselor cukup membantu melalui
memandangnya atas dasar apa yang mereka dapat lakukan ketika menghadapi realita
hidup. Bersamaan dengan hubungan yang hangat ini rintangan-rintangan akan
terhindarkan. Tugas konselor mengaktifkan situasi bantuan (Therapeutyc), dimana
klien memahami hakekat, tujuan, dan arah hubungan.
Perencanaan menjadi langkah penting dalam konseling realita. Situasi konseling
tidak dibatasi diskusi antara konselor dan klien semata-mata. Mereka mengembangkan
bahwa sekali diadakan harus dilaksanakan. Perbuatan merupakan bagian lain yang
pokok dari konseling realita. Kerja yang paling bermakna adalah membantu klien
mengidentifikasi cara-cara bertingkah laku untuk mengubah tingkah laku gagal
ketingkah laku berhasil. Rencana harus dalam batas-batas motivasi dan kapasitas
setiap klien. Mereka tidak mutlak, tetapi cara-cara alternatif untuk memecahkan
masalah dan memperluas pengalaman hidup yang kaya akan keberhasilan. Rencana
perbuatan harus spesifik, konkrit, dan dapat diukur. Mereka tidak perlu kaku,
sejumlah rencana terus menerus dapat diterapkan untuk mengatasi masalah. Jika
suatu rencana tidak dilakukan, harus direevaluasi dan alternatif lain dapat
diperhatikan. Blasser dan Zunin menulis bahwa adalah bernilai positif, bila
rencana itu ditulis dalam bentuk kontrak. Selanjutnya klien dapat bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatan yang berikutnya dalam praktek langsung di kehidupan
sehari-hari.
Kunci lain dari konseling realita adalah adanya kesepakatan. Setelah individu
membuat pertimbangan nilai tentang tingkah laku mereka dan menentukan rencana
perbuatan, konselor membantu klien dalam membuat kesepakatan untuk menerapkan
rencana mereka dalam kehidupan sehari-hari. Resolusi dana rencana menjadi berarti
kalau keputusan dilaksanakan. Lebih lanjut mereka menyimpulkan bahwa ciri utama
individu yang memiliki identitas gagal adalah bahwa mereka memiliki ketidak
inginan yang kuat untuk membuat kesepakatan.
Dalam praktek tidak akan semua kesepakatan klien dapat dilaksanakan. Untuk itu
konselor mengaplikasikan konsep no-excersource . Ketika rencana gagal dilaksanakan, konselor tidak perlu mendengarkan keterangan-keterangan lain
mengenai kegagalannya. Dalam hal ini konselor tidak boleh mencela atau memprotes
klien yang gagal. Tugas konselor membantu klien sehingga klien menghadapi
kenyataan bahwa ia mengarungi kehidupan dengan mencoba menghindarkan diri, ia
harus bertanggung jawab atas tingkah lakunya. Konselor tidak pernah memaafkan
setiap tingkah laku klien yang tidak bertanggung jawab, bila ini terjadi
(memaafkan), berarti konselor telah menyetujui dan mendukung tingkah laku yang
tidak bertanggung jawab tersebut.
D. Mekanisme Pengubahan Tingkah Laku
1. Prosedur Konseling
a. Fase 1
: Keterlibatan (Involvement)
Orang datang ke konseling karena mereka telah gagal terlibat dengan orang lain.
Oleh karena itu, konselor harus mengkomunikasikan sejak awal bahwa mereka siap
membantu klien. Glasser menekankan pentingnya keterlibatan-kemampuan konselor
untuk terlibat merupakan keterampilan utama dalam melaksanakan konseling. Konselor
dapat menggunakan ungkapan pribadi (saya, kami, kita) dan meminta klien untuk
menggunakannya. Dalam hal ini konselor tidak menganggap klien sebagai orang ketiga
(dia,mereka).
Hubungan antara konselor dengan klien akan sempurna, apabila konselor menampilkan
dirinya secara tulus. Konselor yang bisa menampilkan ini semua harus memiliki
ciri-ciri sebagaimana yang dikatakan Glasser :
- Konselor adalah yang pertama-tama sebagai individu yang bertanggung jawab
yang dapat memenuhikebutuhannya sendiri.
- Konselor harus kuat, tidak pernah lepas jalan. Ia harus dapat bersama klien
dalam empati, tidak pernah mencela setiap tingkah laku klien yang tidak
bertanggung jawab
-Konselor harus orang yang hangat, sensitif, memiliki kemampuan memahami
tingkah laku orang lain.
- Konselor harus dapat berbagi kemampuan dengan klien yang selanjutnya dapat
melihat bahwa setiap individu dapat berbuat secara bertanggung jawab, walaupun
kadang-kadang sulit.
#Ciri-ciri itu harus tercermin sepanjang proses konseling. Hal yang paling penting
dalam mencipta keterlibatan adalah ceritakan dengan klien tentang segala sesuatu.
Perhatian khususnya ditujukan pada apa yang klien minati, pembicaraan yang
menyenangkan dalam berbagai hal merupakan cara yang terbaik untuk membantu orang
menjadi terlibat dalam pembicaraan.
b.Fase 2 : Anda adalah Tingkah Laku (You are Behavior)
Banyak pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada perasaan sebagai bagian
terpenting dari pengalaman manusia. Mengungkap dan memahami perasaan manusia
dipandang sebagai alat terbaik dari perubahan dalam konseling. Glasser melawan
pendapat ini, sebab ia percaya bahwa perubahan bagaimana orang merasa mengikuti
perubahan tingkah lakunya.
Cara lain menerima tingkah laku bermasalah dengan memusatkan perhatian pada
kejadian hidup waktu sekarang. Glasser mengartikan present sebagai kejadian atau
aktivitas sekarang. Tekanan perhatian diletakkan pada kekuatan yang dimiliki klien
bukan kelemahan klien. Klien seringkali memahami kegagalannya sekarang sangat
baik, tetapi tidak mengenal kekuatannya sebagai dasar untuk tingkah lakunya yang
bertanggung jawab.
c.Fase 3 : Belajar Kembali (Relearning)
Setelah keterlibatan antara klien dan konselor terjadi, konselor dapat memulai
membantu klien melihat bagaimana tingkah laku terakhir yang tidak realistis,
menolak tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan terakhir mengajari klien
cara-cara yang lebih baik dalam menemukan kebutuhanya di dunia nyata. Prinsip-
prinsip yang termasuk dalam fase ini terdiri dari tiga relearning, yaitu
Pertimbangan Nilai
Semua klien harus diminta untuk mengevaluasi tingkah lakunya sendiri. Setelah
tingkah lakunya sekarang dirinci, konselor menyuruh klien mengevaluasi tingkah
laku itu atas dasar tanggung jawab. Tingkah laku itu membantu atau merugikan diri
sendiri dan orang lain, jika merugikan harus diubah

Perencanaan Tingkah Laku yang Bertanggung Jawab
Setiap klien yang telah mengevaluasi tingkah lakunya yang tidak bertanggung jawab mereka siap membuat perencanaan. Perencanaan ini mencakup membuat rencana-rencana
khusus untuk mengubah tingkah laku tidak bertanggung jawab menjadi tingkah laku
bertanggung jawab. Yang paling penting, konselor membantu klien mengembangkan
rencana-rencana yang realistis
Kesepakatan
Konselor mengusahakan agar klien membuat kesepakatan (commitment) melaksanakan
rencana-rencana mereka.
d.Fase 4 : Evaluasi
Fase yang terakhir dalam prosedur konseling dalam rangka pengubahan tingkah laku
adalah evaluasi. Dalam fase ini antara konselor dan klien bersama-sama
mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan, sehingga
melalui fase ini akan dapat diketahui tingkat keberhasilan konselor dalam membantu
klien.
2.Teknik Konseling
Konseling merupakan proses belajar yang menekankan dialog rasional dengan klien.
Konselor secara verbal aktif mengajukan banyak pertanyaan tentang situasi
kehidupan klien sekarang. Konselor menggunakan pertanyaan pada seluruh proses
konseling untuk membantu klien menyadari tingkah lakunya, membuat pertimbangan
nilai atas tingkah lakunya, dan membangun rencana pengubahan tingkah laku. Untuk
itu dalam membantu klien digunakan teknik-teknik sebagai berikut :?
Melakukan main peran dengan klien
Menggunakan humor
Mengkonfrontasi klien dan tidak memberi ampunan
Membantu klien merumuskan rencana perubahan